03 | Dia dan Botol Obat

1K 100 3
                                    

selamat membaca<3

ඏඏඏ

Berhubung pelajaran matematika sudah selesai dan sudah jam istirahat. Sang guru pamit untuk kembali ke ruang guru.

Sejenak Sarada termenung. "Aku ke rooftop," ucap Sarada sebelum meninggalkan sahabatnya yang masih berada di kelas.

Chocho menatap kesal bercampur khawatir punggung Sarada yang kian menjauh, tanpa ada niat untuk menyusul.

"Sarada," lirihnya.

Kejadian kemarin malam tiba-tiba terlintas di benaknya. Kejadian saat ia dan Sarada dihadang oleh tiga orang preman di gang gelap dan sunyi.

Selagi hari Minggu, ia mengajak Sarada untuk pergi ke mall bersamanya. Ia yang memaksa Sarada untuk ikut. Dengan ancaman, jika Sarada tidak ikut ia tidak mau berteman lagi dengannya.

Niat awalnya ingin pulang sore hari, tapi tiba-tiba turun hujan deras. Terpaksa, mereka harus pulang larut malam. Padahal Ibunya sudah menyuruh untuk pulang dengan supir pribadi. Tapi Chocho bersikeras agar pulang dengan bus saja.

"Hah.... Andai aku menuruti perkataan Ibu. Pasti Sarada tidak a—"

Chocho tersentak. Benar. Luka di lengan Sarada. Apa masih basah?

Ia ingat jelas saat salah satu preman itu mencoba untuk mengambil barang-barang belanjaannya. Sarada dengan sigap menendang keras perutnya. Dua orang sisanya tanpa peringatan maju dan melayangkan pukulan pada Sarada. Ia marah pada diri sendiri karena tidak bisa membantu gadis berambut hitam itu dan hanya bisa diam beberapa langkah di belakangnya sembari berdoa. Bahkan saat lengan sahabatnya tergores pisau lipat yang ditodongkan para preman, Chocho tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Untung setelahnya ada beberapa orang baik yang membantu Sarada untuk menghajar para preman.


Chocho menghela napas berat. "Andai aku bisa bela diri." Pandangannya kini berpusat pada kursi di sebelahnya—kursi Sarada. Mau berapa kali Sarada tersakiti, gadis itu tetap akan terlihat biasa saja. Seolah tidak dapat merasakan rasa sakit lagi. Atau mungkin ... Sarada memang tidak bisa merasakan sakit?

+++


Sarada berdiri dengan tubuh bersandar pada pagar pembatas—yang tingginya hanya sebatas dada orang dewasa. Mengawasi keadaan sekitas. Hanya ada dirinya di sini.


Omong-omong, sudah satu minggu Sarada bersekolah di sini. Tidak ada kejadian buruk yang menghantuinya lagi semenjak SMA. Syukurlah.

Sarada memandang tajam sepatu putih yang ia kenakan. "Walau dia sudah tidak mencariku, aku tetap harus waspada."

"Apa ... Papa dan Mama bahagia di sana?" Suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia mendongak, menatap langit biru cerah.

Tubuhnya bergetar menahan suatu perasaan yang selalu ia pendam. Cepat-cepat ia keluarkan botol obat yang selalu ia bawa ke mana-mana. Mengambil satu kapsul dan meminumnya tanpa air.

Sepertinya ... untuk saat ini, ia tetap harus meminum obat itu.

"Oy!"

Suara asing dari arah belakang Sarada membuat keningnya mengernyit. Saat ia membalikkan badan. Lelaki berambut kuning dengan iris mata biru sebiru langit siang ini langsung tertangkap jelas indra pengelihatannya. Dengan gerakan yang terbilang lambat ia memasukkan kembali botol obatnya.

Teenage HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang