24 | Atap Sekolah

410 59 4
                                    

Pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan pak Udon terasa sangat monoton bagi Sarada. Ia menatap papan tulis dengan malas. Tangan kanannya yang memegang pulpen tak ia gerakan, pun buku tulisnya yang menampilkan halaman kosong belum berisi coretan sedikitpun terbuka lebar, seolah memanggilnya.

Ia menegakan tubuhnya. Menyalakan handphone untuk mengetahui jam berapa sekarang. Jam sembilan lebih empat puluh lima. Lima belas menit lagi bel istirahat pertama berbunyi.

Udon sedang menerangkan apa yang ia tulis di papan tulis, tanpa menyadari bahwa ada satu murid tengah memainkan handphone-nya asal.

Bosan terus menerus di kelas dan mendengarkan suara guru juga spidol yang bersentuhan dengan papan tulis, akhirnya Sarada memilih menyerah. Ia mengangkat tangan kanan tinggi. Lalu berseru, "Pak, saya izin ke toilet."

Bersamaan dengan anggukan sang guru dan ucapan "Cepat kembali!", Sarada keluar melewati pintu belakang kelas.

+++

"Membosankan, " gumamnya.

Angin berhembus pelan. Segerombolan burung terbang di langit, mengikuti arah angin.

Tempatnya berdiri sedikit kotor dan berantakan. Di banding di sebut atap, tempat ini lebih baik disebut gudang yang berada di atap!

Sarada menendang pelan kaleng cat kosong hingga berada di sisi lain.

Rooftop. Tempat yang tepat untuk menenangkan diri di sekolah ini.

Sebenarnya tidak ada larangan untuk pergi ke sini. Tapi guru-guru berharap bahwa tidak ada murid yang memasuki hingga berada di area atap. Karena takut terjadi kejadian yang tidak diinginkan, dan pada akhirnya pihak sekolah yang harus bertanggung jawab.

Satu langkah.

Dua langkah.

Sarada melangkah menuju pagar pembatas. Ia memegang erat pagar dengan kedua tangannya. Pandangannya tertuju ke bawah. Di mana jalan yang hanya muat untuk satu mobil terlihat. Jalan itu tepat berada di samping sekolah.

Tanpa sadar, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Pikirannya terasa kosong.

Musin panas tahun ini tercatat sebagai 'yang terpanas'. Tapi Sarada dengan sengaja mengenakan sweater tipis berwarna krem.

Kemarin malam masa kerja sambilannya telah berakhir karena pekerja sebelumnya sudah kembali. Ia harus mencari pekerjaan lagi jadinya.

Untuk masalah keuangan, Sarada ditanggung pemerintah untuk bersekolah dan tempat tinggal, hanya biaya untuk makan dan sisanya yang harus ia tanggung sendiri.


Cukup sulit mencari pekerjaan diumur 16 tahun. Makanya, biasanya Sarada selalu mengikuti lomba-lomba yang ditawarkan pihak sekolah untuk mendapat uang. Meski tak seberapa.

Masalahnya Sarada lebih sering menolak. Alasannya beragam.

Hari ini pergelangan kaki kirinya terluka. Ia sembunyikan dengan kaus kaki hitam di bawah lutut.

Sarada cukup sering mendapat luka di sekujur tubuhnya semenjak umur 3 tahun. Namun, ada satu luka yang hingga kini masih membekas dan sulit hilang. Itu ...

Sudahlah. Sarada tidak ingin membahasnya. Ia sedikit berjinjit, berusaha memanjat pagar. Pada saat yang bersamaan, derap langkah kaki tergesa terdengar jelas dengan teriakan seseorang dari arah belakangnya.

Teenage HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang