Bus yang Sarada tumpangi berhenti di salah satu halte. Ia bersama beberapa penumpang lain yang turun di halte yang sama berbaris untuk turun.
Sarada menghela napas panjang setelah kakinya menyentuh teras halte. Satu lagi hari yang melelahkan, dan ia terpaksa harus menjalaninya.
Dengan kedua tangannya yang berada di dalam saku jaket ia bergumam tak jelas. Ia berjalan menuju arah apartemen yang ditempatinya, sesekali batu-batu dengan ukuran sedang ia tendang untuk mengusir bosan yang senantiasa hinggap di hari-harinya-meski nyatanya hal itu tak banyak membuat rasa bosannya hilang.
Ia mengenakan kaos hitam polos yang sebelumnya ia kenakan juga saat bekerja. Bisa gawat jika ada orang yang mengetahui jika ia masih SMA namun sudah bekerja. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja umurnya belum genap 17 tahun. Sarada masih 16 tahun, dan di bulan Maret tahun depan ia akan bertambah umur.
Bertambah umur bukan berarti menyenangkan bagi beberapa orang. Rasa tersiksa dan lelah justru mendominasi perasaan yang mereka rasa.
Seingatnya, Sarada sendiri belum pernah merasa bahagia ketika ia berulang tahun. Pada umurnya yang ke enam tahun ia menyadari sesuatu. "Aku mungkin lebih dewasa dibanding anak-anak sesusiaku, namun aku masih anak kecil!" Menyadari jika ia terpaksa untuk dewasa sebelum waktunya.
Jika dipaksa untuk mengingat masa lalu, Sarada ingin sekali menghindar. Sayangnya berapa kali ia mencoba untuk merelakan dan melupakan kejadian buruk dimasa lampaunya, teman-temannya terkadang selalu menanyainya. Itu sama saja seperi orang-orang menyuruhnya untuk mengingat hal yang paling ingin ia lupakan. Ketika ia ingin-setidaknya-sedikit bercerita pada Chocho, sebagian dirinya yang paling dalam menahannya. Terkadang iri ketika melihat ada orang yang leluasa menceritakan masalahnya pada orang lain. Sedangkan Sarada? Entah, meski ia mempercayai Chocho lebih dari yang lain, ia tetap merasa sendiri. Seolah-olah Chocho hanyalah fatamorgana. Seolah-olah ia hidup sendiri di dunia dan orang lain hanyalah khayalan belaka.
Memikirkan Chocho, Sarada jadi teringat dengan hubungan keduanya. Tembok transparan memisahkan mereka. Setelah kejadian dimana ketiga pelaku perundungan Sumire keluar dari sekolah, Chocho jadi lebih dekat dengan kelompok Boruto dan beberapa siswi dari kelas lain.
Chocho anak yang supel. Chocho dekat dengannya, dekat juga dengan yang lain. Terkadang ia merasa terabaikan. Anggap Sarada egois karena ingin Chocho selalu menemaninya dan tak dekat dengan yang lain, tapi ... tidak bisa begitu, 'kan? Chocho memiliki hak untuk berteman dengan siapapun.
Sarada menguap. Kantuk ia rasakan, padahal masih jam tujuh malam. Beberapa meter lagi ia sampai di halaman apartemen.
"Hidup benar-benar rumit," gumamnya sembari menatap lapangan kosong di samping apartemen.
Kosong. Tidak. Ada satu orang tengah berdiam diri di bangku. Ia memakai jaket jeans berwarna biru muda. Helaian rambutnya tertiup angin malam yang dingin.
Sarada memicing, menatap lekat orang tersebut, lalu mengangguk seolah tahu sesuatu. Ia melanjutkan langkahnya menuju apartemen.
+++
Sudah satu jam lebih boruto berdiam diri di sini, di lapangan. Sebenarnya ia ingin mengunjungi rumah Shikadai atau rumah Mitsuki, namun ia takut menggangu jika mendadak datang ke rumah mereka.
Jika dipikir-pikir ia sendiri bingung mengapa ia berada di sini. Seharusnya ia berada di rumah, makan malam bersama keluarganya.
Langkah kaki terdengar, ia bergeming.
"Boruto?"
Boruto menoleh. Sedari tadi di sekitarnya sunyi, sehingga suara sekecil apapun dapat terdengar olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenage Hurt
Fanfiction[BoruSara Fan Fiction] Banyak hal yang berubah. Boruto yang semula hangat menjadi dingin, Sarada yang semula cerah menjadi gelap, dan hidup yang semula lancar menjadi penuh hambatan. Sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan? +++ ©original story by me (B...