20 | Percakapan Serius

393 52 4
                                    

Sarada termangu dengan sikap Chocho padanya. Gadis itu masih marah padanya. Ini rekor, biasanya Chocho tak pernah semarah ini hingga bersikap dingin padanya lebih dari sehari.

Ya ... Sarada tak begitu terganggu sebenarnya. Sejujurnya ia tak begitu peduli jika seseorang terdekatnya pergi meninggalkannya. Anggap saja pengalaman pahit dari masa lalu.

Ia sudah mengenal Chocho lebih dari tiga tahun, namun baru dekat dengannya sekitar dua tahun lebih. Ada suatu insiden kecil yang membuat ia dan Chocho menjadi dekat seperti sekarang, ralat, sebelum Chocho marah padanya.

Ia mengukir segaris senyum tipis ketika pemilik toko pamit untuk membeli makan malam.

Sepi. Hari sudah mulai malam. Tak ada tanda-tanda seseorang akan berkunjung lagi. Sarada menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, ia menengadah menatap langit-langit toko yang berhias ukiran klasik. Hari-harinya benar-benar membosankan.

"Kapan ya aku bisa memiliki rumah sendiri?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus, terkekeh geli dengan pertanyaannya sendiri. "Jangankan membeli rumah, untuk kebutuhan sehari-hari saja terkadang masih kurang."

Ia menggeleng pelan, dan disaat itu pula seorang wanita dengan setelan kemeja putih polos dan rok dibawah lutut bergambar bunga lavender datang memasuki toko.

"Permisi," sapanya.

Sarada bangkit tergesa. Ia membungkukan tubuhnya dari balik meja kasir. "Selamat datang."

Tatapan keduanya bertemu. Seolah tengah mengingat-ngingat sesuatu, wanita itu terdiam selama beberapa detik di pintu masuk. Matanya menatap lurus pada Sarada. Wanita itu merasa mengenal Sarada, tapi kapan dan dimana?

Ia menggeleng cepat. "Eum ... apa kalian punya tepung almond?"

Sarada berjalan menuju rak yang berisi berbagai macam tepung, mengeceknya dengan teliti. Ketika matanya menemukan barang yang dimaksud, ia langsung mengambilnya. Ia menyerahkannya pada wanita tersebut.

Setelah mengecek kualitas barang, wanita itu kembali menyerahkannya pada Sarada untuk dibungkus.

"Hanya satu bungkus? Totalnya jadi 600 yen."

"Ini uangnya, kembaliannya untukmu saja eum ...," wanita itu terdiam sesaat, "siapa namamu gadis manis?"

Sarada, ia memberi tatapan menyelidik yang membuat si wanita tiba-tiba salah tingkah, takut pertanyaannya mengganggu sang gadis.

"A-ah, lu-lupakan—"

"Aku Sara," jawabnya singkat, ia membenarkan letak kacamatanya hingga pas di pangkal hidung.

"Sara?"

Wanita itu terperangah. Otaknya seolah diajak untuk menyelami masa lalu saat itu juga. Namun dikarenakan hari sudah larut dan ia harus segera pulang ke rumah, ia pamit untuk pulang dan menghancurkan segala kenangan masa lalu yang ia coba untuk susun.

Tepat ketika wanita itu melangkah pergi untuk pulang, pemilik toko datang sembari membawa tiga plastik berisi makanan berat. "Sara, kau pulanglah," suruhnya, ia mendorong pelan bahu Sarada agar sang empu menurut. "Sudah jam enam, besok kau sekolah 'kan?"

"Tidak, besok aku—"

"Sudah, sudah. Kau masih dibawah umur, ingat? Hati-hati di jalan. Berlarilah ke keramaian bila kau merasa seseorang mengikutimu. Satu lagi, uang gajianmu akan aku beri hari Minggu nanti."

Sarada mengangguk, tak ingin membantah wanita tua yang katanya memiliki beberapa cabang toko di Konoha. Segera ia pamit untuk pulang dan berjalan menuju halte terdekat untuk ke apartemen yang ditinggalinya.

Teenage HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang