08 | Malam Hari Itu

675 71 2
                                    

selamat membaca, ngok.

ඏඏඏ

Tengah malam ini Sarada lagi-lagi tidak bisa tidur. Seperti malam-malam sebelumnya. Hanya tiga hal yang dapat membuatnya tertidur. Pertama, dengan obat tidur, tapi beresiko tinggi. Kedua, seseorang mengelus lembut kepalanya, hal ini dapat membuatnya merasa tenang. Dan terakhir ... paksaan, ia memaksa diri sendiri untuk tidur, tapi tentu tidak akan nyenyak.

Setiap malam ia selalu teringat akan masa lalunya. Ia hanya takut jika ia terbangun nanti, semua hal itu akan kembali terjadi. Ia hanya takut.

Ia takut namun tidak bisa berteriak. Ia ingin menangis namun tidak dapat menangis. Ia butuh pertolongan namun tidak mampu untuk berkata apa-apa. Ia hanya mampu diam dan terus melanjutkan hidup. Menutup mata lalu mengulang kalimat yang selalu ia rapalkan setiap malamnya.

"Semua akan baik-baik saja."

Kalimat itu seakan menjadi sihirnya untuk tetap bertahan. Menjalani hidup yang penuh akan kesakitan, tetap bernapas meski rasanya sedang sekarat, terus melangkah meski tidak ada jalan untuk melangkah, dan kembali mengulang hal yang sama setiap harinya.

Terkadang Sarada berpikir, "Aku sudah hampir mati, tapi tetap ingin bunuh diri."

Mungkin orang lain akan beranggapan bahwa dirinya adalah anak yang aneh. Andai mereka tahu apa yang ia lalui selama ini. Andai mereka tahu seberapa banyak yang ia sembunyikan. Andai mereka tahu bahwa takdirlah yang memaksanya seperti itu. Memaksa untuk tetap hidup dan bertahan, meski setiap harinya Sarada selalu bertanya, "Mengapa aku hidup?" atau "Apa arti hidup sebenarnya?"

Semua lamunannya tiba-tiba buyar karena suara telepon yang menggema di ruangan berukuran 1,5 × 2m itu.

Sarada mengambil handphone-nya yang sengaja ia letakkan di atas nakas samping ranjang.

Unknown Number is calling

"Nomor siapa?" tanyanya pada diri sendiri. Tanpa pikir panjang ia menekan ikon untuk menerima panggilan.

"Halo?!" sapanya.

Hening. Hanya terdengar suara gemerisik angin di seberang sana.

"Halo?"

Tuuuttt

Terdengar suara "tut" panjang setelahnya. Seseorang di seberang sana telah memutus panggilan secara sepihak.

Sarada tampak kesal dan segera menyimpan handphone ke atas nakas. "Siapa yang menelepon di tengah malam seperti ini?"

Tanpa mau peduli dengan panggilan tadi, ia segera mematikan lampu tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Seperti biasa, kini ia kembali mengambil botol obat yang selalu ia bawa, mengeluarkan beberapa pil dan hendak memakannya. Namun tiba-tiba ia berhenti. Mengurungkan niatnya, dan mencoba tidur tanpa obat tersebut.

Awalnya sulit untuk tidur, rasanya ia bisa terjaga semalaman dan hanya akan tidur jika ia meminum obat itu. Tapi ia ingin kembali menjadi dirinya yang dulu, tanpa ketergantungan obat.

+++

Di sebuah ruangan bawah tanah, terdapat tiga orang yang sedang mencatat dan memeriksa sesuatu. Kertas berserakan di mana-mana, beberapa barang penting mereka masukkan ke dalam plastik untuk menjadi barang bukti.

Helaan napas kembali terdengar. Ini adalah ke-empat kalinya mereka mendapat kasus yang sama setelah 13 tahun yang lalu.

Korban dari setiap kasus selalu sama. Yaitu ... terdapat kain perban yang melilit leher mereka. Selalu sama. Pelaku belum dapat ditemukan dan hal itu selalu membuat mereka frustasi.

Teenage HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang