Boruto menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk miliknya yang berukuran besar. Salah satu tangannya menutup matanya menggunakan punggung tangan. Ia menghela napas panjang.
Cukup lama ia berada dalam posisi seperti itu; dengan tubuh yang terlentang di kasur, tanpa penerangan dari lampu atau benda apapun yang dapat mengeluarkan cahaya, dan tanpa pergerakan apapun.
Ia nyaman dalam diam. Diamnya berarti nyaman. Namun tidak selalu ia diam berarti nyaman.
Boruto mengintip pintu yang diketuk pelan dengan mata setengah terpejam. Menunggu seseorang di balik pintu untuk mengatakan sesuatu.
"Kakak?" Suara imut itu terdengar. Lalu diam beberapa detik. "Apa sudah tidur, ya?" gumaman itu dapat Boruto dengar dengan jelas.
Perlahan Boruto menegakkan tubuhnya. Meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.
"Ada apa?" tanyanya.
Boruto dapat menduga reaksi apa yang adiknya tampilkan. Terkejut.
Kenop pintu itu di dorong perlahan agar tidak menimbulkan suara bising. Rambut indigo pendek itu terlihat bersamaan dengan wajah imut adik perempuannya yang menyembul dari celah pintu.
Himawari berkedip lucu untuk menggoda Boruto, tapi sayangnya Boruto tak menunjukan ekspresi apapun. Himawari mendesah kecewa.
Tangan Boruto terangkat, menyuruh Himawari untuk masuk ke kamarnya yang gelap.
Himawari menurut. Ia meminta izin untuk menyalakan lampu belajar Boruto, dan ia diperbolehkan.
"Kakak sepertinya sangat suka bermain gelap-gelapan, ya?" tanyanya polos dengan senyuman. "Memang kakak tidak takuk jika ada hantu? Biasanya hantu-hantu akan muncul dari dalam kegelapan," jelasnya ia bercerita untuk menakuti kakaknya.
"Tidak," jawab Boruto ia berdiri lalu berjalan menuju meja belajar. Duduk di kursi kayu, dan kembali memfokuskan atensinya pada Himawari yang duduk di kasur.
"Mengapa harus takut gelap disaat sudah menjadi gelap?" Tawa Boruto terdengar aneh. Candaan yang Boruto buat tidak membuat Himawari tertawa sama sekali. Candaan gelap, begitu orang-orang menyebutnya.
"Kak ..." Himawari mulai merengek. Gadis SMP itu menatap sendu kakaknya. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa kakaknya berubah. Ia sedih. Apa hanya karena hal waktu itu?
Tawa Boruto berangsur reda saat melihat raut wajah Himawari yang ditekuk. Jelek, menurut Boruto.
"Omong-omong, ada apa?" tanya Boruto. Ia dapat melihat kilatan mata Himawari yang berubah. Ia jadi teringat seseorang.
Himawari mengembangkan senyumnya. "Tidak ada apa-apa. Sebenarnya aku khawatir pada kakak. Kakak kenapa pergi sebelum makan malam? Apa kakak sudah makan?"
"Sudah."
"Oh, ya? Makan apa? Di mana? Apa kakak makan bersama teman-teman kakak?"
Boruto mendengus mendengar pertanyaan beruntun adiknya. Dasar serba ingin tahu. "Aku makan ramen instan di market dekat apartemen Haru, bersama seorang teman."
"Ramen instan? Tumben, kakak kan lebih menyukai hamburger dibanding ramen. Lalu mengapa tidak membeli hamburger saja? Seperti tidak mendapat uang dari Ayah saja." Kalimat terakhir Himawari memang terdengar kejam. Mengkambinghitamkan Naruto pula.
"Hah ... Temanku yang membelinya. Tiba-tiba saja ia menyerahkan satu cup ramen padaku, padahal aku belum mengatakan apa-apa," ujar Boruto mengingat kejadian di market tadi.
Tawa pelan Himawari menggema di ruangan berukuran 3×5 itu. Suaranya menjadi sangat jelas karena sudah memasuki waktu tidur, yang otomatis segala aktivitas di mansion Uzumaki tidak terlalu banyak, bahkan terkesan tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teenage Hurt
Fanfiction[BoruSara Fan Fiction] Banyak hal yang berubah. Boruto yang semula hangat menjadi dingin, Sarada yang semula cerah menjadi gelap, dan hidup yang semula lancar menjadi penuh hambatan. Sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan? +++ ©original story by me (B...