15 | Percakapan Tiga Siswi

425 51 0
                                    

Mengingat sore nanti Tsubaki akan kembali ke desanya, Sumire mengajak Chocho dan yang lainnya untuk ikut mengantar Tsubaki. Dan semua setuju, termasuk Sarada. Rencananya setelah pulang sekolah mereka akan ikut ke rumah Tsubaki dulu, lalu bersama kedua orang tuanya pergi ke stasiun.

Perasaan Tsubaki terasa lega. Padahal diawal pernyataan kedua orang tuanya tentang kembali ke kampung halaman membuat ia menangis dua hari penuh, sebab tak rela jika harus berpisah dengan teman-temannya yang sudah ia anggap sebagai sahabat, pun Sarada yang menjadi motifatornya untuk kembali mendalami dunia samurai.

Pertemuan pertama Tsubaki dengan Sarada adalah hal yang berkesan untuk Tsubaki. Beberapa minggu setelah lulus SMP, ia bertemu dengan Sarada dari sekolah sebelah yang tengah menghajar beberapa murid yang menjadi pelaku dalam perundungan. Dengan tangan kosong dan lawan yang berjumlah tiga kali lebih banyak, Sarada mampu untuk melindungi sang korban dan menjatuhkan para pelaku.

Saat itu juga, ia kembali ingin untuk berlatih ilmu pedang dan menjadi samurai hebat—meski zaman sudah modern.

Sosok Sarada yang terlihat tangguh dan hebat kala berkelahi membuat ia tanpa sadar mengagumi dalam diam. Rasanya pasti senang jika bisa berteman dengannya, pikirnya kala itu.

Dua hari kemudian ia bertemu dengan Sarada di sebuah gang, Dewi Fortuna sepertinya sedang berbaik hati padanya. Tak mau membuang kesempatan ia melangkah mendekati Sarada dan menyapanya, ia memberi tahu namanya sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan. Namun reaksi yang diberikan oleh Sarada membuatnya cukup terkejut, sebab Sarada malah berlalu meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Ia sempat geram beberapa minggu, dan menyumpah serapahi. Namun takdir berkata lain. Justru ia menjadi dekat dengan Sarada karena kejadian itu. Setelah kejadian ia diabaikan, ia tanpa sengaja selalu bertemu Sarada di minimarket atau di sebuah gang dekat minimarket tersebut. Sarada yang kesal setiap kali bertemu Tsubaki yang terlihat seperti menyindirnya—tentang sikapnya pada pertemuan pertama mereka, akhirnya memberi pernyataan maaf dan secara mengejutkan juga mau berkenalan dengannya.

Setelah itu, setiap ada kesempatan, Tsubaki selalu menyampatkan diri untuk mengajak Sarada bermain bersama Wasabi dan Namida.

+++

Satu minggu kemudian.

Chocho berjalan sembari bermain ponsel dan memakan keripik kentang—bungkusnya ia apit di ketiak. Matanya berbinar tatkala melihat berita bahwa aktor idolanya akan melakukan syuting untuk proyek film baru. Antusias sekali ia untuk hal seperti itu. Ia lebih suka membahas aktor tampan kesukaannya—Tomaru, dibanding menyelesaikan soal-soal matematika.

Sembari berjalan ia masih fokus pada dua kegiatannya yang dilakukan dalam satu waktu. Sekali mendayung , dua tiga pulau terlampaui.

"Pagi, Chocho."

Sapaan seseorang membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh ke samping. Lalu tersenyum. "Pagi juga, Mitsuki."

Chocho menyimpan ponselnya pada saku kemejanya, lalu berjalan beriringan dengan Mitsuki untuk ke kelas.

"Biasanya kau bersama Sara. Dia ada di mana?"

"Tidak tahu. Pesanku belum dia baca."

Tiba-tiba perut Mitsuki berbunyi, tanda lapar. Chocho di sebelahnya menawarinya keripik kentang dan langsung ditolak secara halus.

"Mau sarapan di kantin? Masih ada waktu 15 menit. Kalau kau mau aku akan menemani," usul Chocho.

Mitsuki mengangguk. "Boleh."

Sepanjang perjalanan menuju kantin, Chocho tak henti-hentinya memuji betapa hebat dan tampan aktor kesukaannya. Mitsuki hanya mengangguk-angguk dan membalas dengan jawaban seadanya.

"Mau pesan apa?" tanya Mitsuki setelah mereka duduk di meja dekat pintu masuk.

"Karena masih pagi aku pesan roti melon saja dua."

"Kau tunggu di sini. Aku tak akan lama."

Mitsuki pergi untuk membeli onigiri isi tuna mayo dan roti melon pesanan Chocho.

Ketika Mitsuki pergi, disaat itu juga tiga orang siswi kelas 2 masuk. Duduk di meja sebelah mereka. Tiga orang siswi itu terkikik menertawakan apa yang sedang mereka lihat melalui handphone. Chocho di mejanya tak peduli dan terus memakan keripik kentang.

"Kau ingat si pecundang itu?" tanya salah satu siswi kepada siswi lainnya.

"Tentu. Si Sumire payah itu, bisa-bisanya ia sekolah di sini. Apa dia tidak menyadari kalau kita berada di sini juga?" jawab salah seorangnya. Dilihat dari penampilannya, siswi ini terlihat seperti pemimpin dalam grup mereka.

Tawa ketiga siswi itu terdengar mengudara. Mitsuki datang dengan belanjaannya, duduk di kursi yang berada di hadapan Chocho.

Mitsuki menyerahkan dua bungkus roti pada Chocho. "Ini pesananmu. Maaf, yang me—"

"Dia payah!"

Seruan dari meja di sebelahnya membuat Mitsuki memandang ketiga gadis itu.

Chocho menatap mereka tak suka. "Mereka ... "

Mitsuki kembali menatap Chocho. Apa yang terjadi memangnya?

Chocho tiba-tiba mengatakan bahwa ia tidak ingin makan di kantin, dan mengajak Mitsuki untuk segera pergi ke kelas saja.

+++

Sesampai di kelas, matanya langsung menangkap sosok Sarada yang sedang berbincang bersama Sumire. Ia melangkah mendekat, mengabaikan dan meninggalkan Mitsuki yang berada di belakangnya begitu saja.

Sadar seseorang berada di antaranya dan Sarada, Sumire mengalihkan tatapannya. Ia tersentak. "Ah, Chocho-chan."

Chocho mengambil tempat duduk di sebelah Sarada. Lalu bertanya, "Kalian membicarakan tentang apa?"

"Ah ... b-bukan apa-apa."

Matanya memicing, ia melirik Sarada yang terlihat biasa saja. Lalu memutar bola matanya. "Kalian merahasiakan sesuatu dariku, ya?"

"T-tidak, bukan seperti itu." Sumire menjadi tak enak pada Chocho. Namun hal yang ia beritahu pada Sarada merupakan hal yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

"Ya sudah tak apa, o— BENAR JUGA!" Chocho memukul pelan meja, kelopak matanya terbuka lebar. Beberapa murid merasa risih dengannya. "Tadi di kantin ada tiga orang siswi kelas 2. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka. Oh iya, salah satunya berambut silver dengan jepit rambut edisi terbatas dari Wings. Jika aku ingat-ingat, ia memakai sepatu hitam merk—"

"Intinya."

Ucapan singkat Sarada membuat Chocho bungkam. Ia menelan ludah kasar, kala melihat raut Sarada yang terlihat tak tertarik dengan penjelasan tak bergunanya.

Ia berdeham untuk menghilangkan rasa gugup, lalu mengatakan intinya.

"Begitu?" tanya Sarada. Ia menutup mulutnya saat menguap.

Sumire menunduk. Lalu menampilkan senyum lembut. "Ah, itu pasti Sumire yang lain. Aku dengar di sekolah ini ada kurang lebih empat murid yang memiliki nama sama sepertiku."

Chocho menyandarkan punggungnya pada sandaran, membuka bungkus roti rasa coklat yang Mitsuki belikan. Roti melon belum datang, hanya ada yang coklat dan kelapa, jadi Mitsuki membelikannya yang rasa coklat.

"Bisa jadi sih ... "

Diam-diam Sumire menghela napas lega. Ia melirik Sarada, memberi kode.

"Untung saja Chocho-chan percaya pada perkataanku," batinnya lega.

Tepat saat Chocho ingin kembali berbicara, seruan dari guru Moegi yang menyuruhnya untuk berhenti makan karena bel sudah masuk membuat ia kembali membungkam mulutnya. Ia mencibir dalam hati betapa kejamnya peraturan di sekolahnya.

Masa, makan sebelum waktunya tidak boleh? Bagaimana jika ada yang tidak sempat sarapan di rumah? Bagaimana jika ada yang pingsan karena kelaparan? Peraturan sekolah memang aneh-aneh. Ya sudahlah....

.
.
.

tbc

Teenage HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang