Chapter 2

4.4K 689 104
                                    

Riuh mahasiswa mondar-mandir berseliweran kala jam pulang datang. Sudah sore, namun belum terlalu petang. Mentari masih memancar hangat menemani sepoi tenang.

Nanon berjalan menunduk melewati tangga demi tangga dari lantai tiga kelasnya menuju dasar. Sendirian seperti biasa, tanpa lawan bicara atau sekedar teman jalan. Bukan hal aneh bagi yang lama mengenal. Tapi bagi Ohm yang baru saja menyadari kehadirah Nanon, kesendirian si pemuda manis terlihat berbeda. Ada sesuatu yang seolah menariknya untuk terus mengajaknya berinteraksi lagi dan lagi.

"Nanon!!" Panggilnya dari belakang menyusul langkah cepat Nanon.

Nanon menoleh. Menatap sejenak pemuda dengan bola basket di tangan yang mendekatinya lalu memilih kembali melengos ke depan dan melanjut langkah. Merasa tak punya urusan.

"Hei, tunggu. Nanon!!" Tapi si tampan ternyata bisa menyusul. "Udah mau pulang?" Lanjutnya.

Nanon menggeleng. Masih melanjutkan jalan sambil Ohm mengikuti. "Mau ke ruang kesenian."

"Owh, gue juga mau ke lapangan basket. Searah kan? Bareng aja yuk!" Ajak Ohm semangat.

Yang diajak bicara tiba-tiba menghentikan gerak kaki. Sinar matanya menatap Ohm tak mengerti.

"Kenapa?" Tanya Ohm polos.

"WOI OHM, BURUAN!! FAKULTAS SEBELAH UDAH NUNGGU DI LAPANGAN!!" Teriakan Billkin dari jarak 200m mengubah atensi Ohm sejenak.

"BENTAAR!!" Balasnya tak kalah teriak. Kemudian kembali menatap Nanon yang masih kebingungan. "Non, boleh pinjem uang? Dikit aja kok. Boleh ya?"

Nanon tak mau berdebat. Apalagi dengan wajah Ohm yang sok dimelaskan. Ia memilih mengambil sisa uang jajannya di tas.

"Cuma ada segini." Lirihnya mengangkat selembar uang berwarna biru.

Ohm tersenyum dan mengambil uang di tangan Nanon. "Ini lebih dari cukup. Nanti gue balikin dua kali lipat ya."

"......."

"Oh, satu lagi."

"........"

Jemari kanan Nanon diraih. Membiarkan tangan sehalus porselen milik si manis bergesekan dengan telapak besar Ohm.

"Pinjem ini juga ya?" Bukan ijin sebenarnya. Hanya pemberitahuan. Karena tangan Ohm sudah lebih dulu melepaskan gelang berbahan karet di pergelangan tangan Nanon dan mengikatkannya di rambutnya sendiri dengan gaya apple hair.

Sedang Nanon tetap saja diam. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana pada lelaki yang saat ini sudah mendahuluinya, melangkah riang menuju lapangan.







....








Ruangan kesenian tampak begitu lenggang. Luas dengan berbagai hasil karya terpajang, terutama lukisan. Namun sepi dan nampak begitu tenang.

Beberapa anggota club yang tadi sempat mengikuti kegiatan melukis bersama sudah lima belas menit yang lalu pulang meninggalkan Nanon yang fokus sendirian. Jemari lentiknya tak henti menggores di atas kanvas sewarna awan. Memadu apik garis-garis hitam lewat pensil menjadi rangkaian sketsa yang membentuk objek.

Melukis, kegemaran Nanon yang tak bisa diragu kemampuannya. Mengalih perhatiannya dari hal-hal tak penting pada hal yang lebih bermanfaat. Menyalur isi kepala pada gambar-gambar apik dan menawan.

Tapi hari itu fokus Nanon tak penuh pada lukisannya. Meski terus menggores garis, namun sisi kepala yang lain masih memikirkan tingkah Ohm yang menurutnya tiba-tiba. Ohm, pemuda berandal yang inginnya Nanon hindar, kenapa malah terus berkeliaran di sekitarnya? Untuk apa Ohm mendekatinya?

ARES (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang