Chapter 3

4.1K 582 89
                                    

Deru mesin motor ber-cc besar yang digeber kencang mengisi bising siang jalanan kampus. Membuat beberapa atensi terlonjak kaget bahkan mengumpat. Tapi apa Ohm peduli? Ia malah makin semangat.

"Ohm Pawat." Dua orang pemuda mengiring langkahnya di halaman, dengan satu orang memanggil namanya cari perhatian.

Ohm menoleh, melempar tatap pertanyaan, 'apa?'

"Gue Leo kapten tim basket kampus. Gue kemaren liat permainan lo bagus banget, mau gabung ke tim inti?" Jelas Leo penuh harap.

"Benefitnya buat gue apa?"

"Kalau kita menang, kita bisa dapet duit banyak."

"Kalau kalah masih bisa dapet duit?"

"Ya nggak."

"Buang-buang waktu doang. Gue nggak bisa." Congkak. Tanpa kata maaf meneruskan langkah meninggalkan Leo dan satu pemuda lain saling tatap kecewa.

"Ck. Sombong banget dia."

"Kan gue udah peringatin lo dari awal, bego."




....






Tujuan Ohm bukanlah menuju kelas, melainkan membawa langkah masuk ke ruang kesenian yang saat itu sedang ramai digunakan. Sekali lagi apa dia peduli? Tidak.

Berdiri di ambang pintu memandangi satu atensi yang belakangan mengisi hari. Di sana Nanon sedang fokus menggores kanvasnya dengan jemari. Di sisinya mondar-mandir sang mentor yang memperhatikan. Miss Alice, wanita dengan hak sepatu setinggi sepuluh senti itu melirik Ohm dengan tatapan tajam.

"Nanon.. Nanon..sstt." Ohm berbisik memanggil masih di ambang.

"Eh, Miss Alice. Apa kabar Miss?" Menyapa Alice karena yang menoleh bukan hanya Nanon ternyata, tapi sang mentor lukis juga.

Bukannya menjawab salam Ohm, Alice malah menoleh ke arah Nanon. "Nanon kok bisa kenal bocah nakal kaya Ohm? Mending dijauhin deh, Non." Lalu melangkah meneliti hasil lukisan mahasiswa yang lain.

"Non, ayo ke belakang. Sebentar aja, janji." Ajak Ohm masih dengan bisikan. Membuat Nanon yang tak ingin ada keributan langsung menuruti saja ajakan Ohm padanya.

Di belakang gedung, pemuda yang tangan kanannya terbalut perban tebal tersebut mengorek isi tas dan menyerahkan selembar gambar kusut pada Nanon yang masih menunduk.

"Nih, gue balikin. Tapi maaf ya jadi kusut gara-gara gue, gue nggak tau ada gambar di belakangnya makanya gue lipet gue kantongin di celana. Sebisa mungkin gue lurusin kok, semalem gue tindih di bawah bantal malah."

Nanon menerima kertas sobekan bergambar sketsa seorang ibu dan bayinya yang beberapa waktu lalu ia gunakan untuk menggambarkan peta rumah sakit pada Ohm. Ia tersenyum tipis, sangat tipis.

"Nggak apa-apa, ini juga cuma sketsa kok. Nanti kalau lukisan benerannya udah jadi, ini nggak akan berguna lagi." Jelas Nanon.

Ohm mengernyit dalam. "Nggak berguna?" Maksud lu, gambar itu mau lu buang?"

Nanon bingung, tapi tetap mengangguk.

"Bisa nggak lu kasihin aja ke gue gambarnya? Dari pada dibuang sia-sia?" Pinta Ohm.

Nanon menarik napas sejenak. "Nanti aku kasih lukisannya aja ya? Aku janji bakal selesein lebih cepet."

"Hah?? Beneran?? Wahh gua nggak nyangka." Ekspresi bahagia macam baru menang lotre-lah yang Ohm keluarkan.

Namun kemudian detik berikutnya wajahnya murung. "Tapi gue nggak punya duit buat bayarnya, Non. Masa nggak bayar? Nggak ah, nggak enak gue jadi ngerasa utang sama lu."

ARES (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang