Mentari cukup malu menampakkan diri di awal siang. Menyembunyikan bias sinar di balik rimbunan awan, agaknya cukup membuat beberapa orang bahagia karena tak perlu berpeluh kepanasan.
Terhitung tiga hari semenjak galeri pameran lukisan yang digagas oleh ibu teman Nanon berlangsung, selama itu pula Ares miliknya tergantung gagah menjadi ikon menarik di sana. Model yang memang dasarnya tampan, berpadu apik dengan kemampuan lukis Nanon yang tak bisa diremehkan. Mata siapa yang tak akan tertarik sekedar memandang?
Dengan sneakers putih kesayangan, siang itu Nanon kembali menyusur lorong menuju arah lukisannya berada. Sama seperti dua hari lalu ataupun kemarin, Nanon selalu menyempatkan waktu mengunjungi galeri tersebut sekedar menyapa, menjawab pertanyaan, atau menerangkan tentang lukisan miliknya pada pengunjung yang menunjukkan ketertarikan.
"Permisi Pak, ada yang bisa dibantu?" Dengan sopan Nanon menyapa seorang lelaki paruh baya bermata sipit dengan stelan jas mahalnya yang menatap Ares beberapa menit penuh telisik.
"Ah, kebetulan Nak. Lukisan ini akan dijual berapa?" Tanya si lelaki berwajah Chinese.
"Maaf Pak, tapi lukisan ini tidak dijual."
"Loh, kenapa? Sayang lukisan sebagus ini cuma disimpan. By the way boleh saya bertemu pelukisnya?"
Nanon tersenyum dengan raut malu-malu. "Itu, saya sendiri Pak."
Si lelaki paruh baya menoleh dan menatap Nanon serta lukisannya bergantian. "Wah, hebat. Dan pemuda yang ada di lukisan ini, temen kamu Nak?"
"Iya, Pak. Dia temen saya." Mana berani Nanon bilang kalau si model adalah kekasihnya.
"Ares. Nanon Korapat." Yang lebih tua mengeja tulisan kecil di pojok bawah lukisan yang jadi penanda. "Kenapa judulnya Ares?"
"Ares, panglima gila perang, arogan, haus darah dan kekerasan. Tapi di balik kesan buruk itu Ares adalah seorang yang disegani pasukan dan lawannya." Jelas Nanon.
"Percaya atau tidak tapi lewat lukisan ini saya bisa lihat pemuda itu punya kesedihan yang dipendam. Rasa rindu, hampa, kekosongan yang ditutup rapi, dia pintar menyembunyikannya."
Deg.
Nanon memandang kagum. Yang dikatakan lelaki ini seolah dia telah kenal Ohm begitu lama.
"Dia alasan kamu nggak jual lukisan ini?"
Si manis mengangguk. "Saya udah janji sama dia kalau dia mau jadi model saya, saya akan kasih hasil lukisannya ke dia, Pak. Makanya lukisan ini nggak dijual."
"Ah, ok kalau gitu. Saya kurang beruntung berarti."
"Aduh maaf sekali lagi, Pak." Sesal Nanon.
Tapi tawa penuh wibawa si pria berjas di hadapannya sedikit bisa jadi penenang. "Nggak apa-apa kok. By the way, saya ke sini juga karena brosur di internet soal pameran ini yang pasang lukisan kamu sebagai iklan. Makanya saya penasaran dan mutusin buat ke sini."
"Terimaksih banyak, Pak."
"Sama-sama. Oh iya, kalau kamu bertemu pemuda di lukisan ini, tolong bilangin, 'masalah itu buat dihadapi, bukan dihindari'. Gitu ya."
"A..ah, iya."
....
"Heh kok kamu bego?? Harusnya mah jual aja tuh lukisan. Kan lumayan duitnya." Ohm mengomentari cerita Nanon soal lelaki paruh baya yang sempat hendak menawar lukisannya.
Saat ini keduanya ada di apartment Ohm, bersama mengisi sore sekedar mengobrol dan bertatap menguar rindu meski baru sehari tak bertemu.
"Sih, kok ngatain? Lagian lukisan itu kan udah punya kamu." Jawab Nanon yang duduk di ranjang Ohm, memandang si tampan yang mondar mandir di depannya membereskan onderdil motor yang berceceran.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARES (OhmNanon)
FanfictionAres; Dewa perang dalam mitologi kuno Yunani. Putra Zeus dan Hera yang lekat akan kebrutalan, liar, darah, dan kehancuran. Bagi Nanon, Ohm adalah perwujudan Ares di dunia nyata. Brutal, semena-mena, tak bisa lepas dari kekerasan, namun parasnya beg...