Pagi ini Ruvha sangat gelisah, ia semalaman memikirkan cara untuk membatalkan pertunangannya. Setelah pertemuan kemarin ia terus menyiapkan mental untuk bicara pada kedua orang tuanya.
Ia tahu itu hal mustahil, tapi apa salahnya mencoba. Mungkin kali ini akan berhasil, mengingat ia tidak pernah meminta apapun pada orang tuanya.
Saat Ruvha akan membuka pintu, seseorang mengetuknya dari luar. Ketika ia buka menampakkan Samih, pelayan dirumahnya.
"Kenapa?" Tanya Ruvha singkat pada Samih yang menunduk hormat, walau usia mereka terpaut jauh lebih tua Samih tapi status adalah segalanya, terutama di rumahnya.
Sedikit cerita, dikeluarganya hal ini adalah suatu yang wajar meskipun kehadiran Ruvha tidak dipedulikan namun ia dilarang keras untuk bermain atau bercengkrama dengan orang-orang yang kata mereka dibawahnya, seperti para pelayan rumahnya. Bahkan ia dilarang untuk memanggil mereka yang lebih tua dengan pak atau buk.
Sebenarnya meski dilarang Ruvha pernah melakukannya dan tentu saja tidak dihadapan orang tuanya, dan ia pernah mencoba untuk bicara sopan pada Samih dengan menggunakan sebutan buk Samih, namun kalimat yang yang Samih lontarkan membuat Ruvha menyesal mencobanya, Jika ingin manghormati kami, saya mohon anda tidak memanggil dengan sebutan itu. Karena jika itu terdengar oleh orang lain dan sampai pada orang tua anda, maka pekerjaan kami jadi taruhannya. Kalimat yang masih terngiang dikepala Ruvha, dia bertanya-tanya apakah dunia memang sekejam itu atau hanya dalam keluarganya saja?
"Nyonya menyuruh Nona turun menemuinya diruang kerja Tuan." Jawab Samih masih menunduk tanpa sedikitpun menatap lawan bicaranya.
Ruvha hanya berdehem menanggapi. Lihatlah bagaimana Samih memanggil mereka. Tuan, Nyonya, Nona, jika Ravan masih hidup ia akan disebut Tuan Muda, sungguh memuakkan.
Ruvha berjalan menuruni tangga menuju ruang kerja Raflan. Diketuk pintunya dan setelah terdengar suara menyuruhnya masuk baru ia buka. Disana memperlihatkan sepasang suami istri itu, dengan tatapan dingin dan sangat jelas terdapat kebencian disana. Ruvha hanya diam menatapnya tanpa ekspresi.
"Nanti siang Zeris akan datang menjemputmu. Pastikan kau berdandan secantik mungkin, dan jangan melakukan hal bodoh. Gadis sial sepertimu harus bersyukur mendapatkan laki-laki dari keluarga terpandang seperti Zeris. Sekarang pergilah." Miltha berbicara sinis, seolah didepannya sekarang bukanlah putrinya. Tak menanggapi apapun Ruvha cukup mendengar dan menurutinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Sebenarnya Ruvha sudah menyiapkan mental dan fisiknya saat berjalan kemari, namun melihat kedua orang tuanya membuat suatu ingatan yang tak akan pernah hilang itu terus muncul memenuhi kepalanya. Bagaimana Miltha memukulnya, menjambak, melakukan berbagai hal kasar tergolong menyiksa terhadapnya.
Meski sering tapi tak membuat Ruvha terbiasa dengan perlakuan itu karena rasa sakitnya masih sama membuat air matanya selalu menetes tanpa disadari ketika mengingat itu dan karenanya ia mengurungkan niat untuk berbicara.
•••
Seperti perkataan Miltha, ia harus berdandan cantik untuk pergi entah kemana bersama Zeris yang akan menjemputnya. Kali ini Ruvha mengenakan dress selutut berwarna pastel, dengan heels 3 cm berwarna hitam dan tas yang tersampir dibahunya dengan warna senada, gelang ditangan kirinya juga kalung berliontin sederhana terpaut dileher jenjangnya, serta rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai dengan polesan make up natural, tak lupa parfum yang tercium samar.
Katakanlah ia cantik bahkan tanpa riasan dan baju mahal sekalipun. Tapi semua ini bukan karena Zeris yang menjemput atau Miltha yang menyuruhnya, walaupun alasan yang kedua salah satunya. Tapi sejatinya ia melakukan ini untuk diri sendiri, ia tidak mungkin keluar rumah dengan baju tidur, setidaknya ia harus memanfaatkan kekayaan keluargakan.
Bel rumahnya berbunyi membuatnya mau tak mau harus turun dan menghampirinya. Pintu rumahnya sudah dibuka tapi laki-laki itu enggan untuk masuk. Sebelumnya kedua orang tua Ruvha sudah pergi keluar kota karena urusan bisnis, lagi-lagi bisnis.
Ruvha berdiri didepan pintu menatap punggung Zeris dan memperhatikan penampilannya. Laki-laki itu memakai kemeja polos berlengan pendek dengan warna army serta celana hitam, sneakers putih polos dan jam hitam di lingkar tangannya. Terlihat rapi, tak sia-sia Ruvha sedikit berdandan karena orang yang menjemputnya dalam keadaan yang sesuai.
Ruvha menghampirinya tanpa niat memanggil dan saat itu pula baru tercium aroma parfum maskulin, aroma yang sama seperti pertama kali mereka bertemu.
Gadis itu menepuk pundak Zeris membuatnya berbalik dan diam sesaat memperhatikan penampilan gadis dihadapannya.
"Lama banget." Ucapnya ketus, langsung berjalan ke mobilnya tanpa basa basi. Ruvha hanya menghela napas dan mengatur emosinya.
Diperjalanan keduanya hanya diam dengan menatap keluar jendela dan fokus kedepan tanpa mau repot berkomunikasi untuk menghilangkan bosan. Sampai mobil itu berhenti didepan sebuah kafe yang familiar diingatan Ruvha. Tapi kenapa mereka kesana, ia tidak merasa ini adalah kencan.
"Ngapain bengong? Turun." Zeris berkata datar namun terdengar menjengkelkan di telinga Ruvha. Namun gadis itu langsung menurutinya dan mengikuti Zeris yang berjalan duluan.
Mereka masuk kedalam dan naik keatas, ke lantai 2. Zeris melangkah kesalah satu kursi dengan posisi terbaik di cafe ini dan Ruvha berjalan mengikutinya dengan patuh.
Mereka duduk disebelah jendela di sudut ruangan itu, disini tidak terlalu banyak meja sehingga jarak satu sama lain lumayan jauh sedikit memberi ruang untuk pembicaraan yang terbilang sensitif.
"Masih belum bilang ke orang tua lo?" Tanya Zeris tanpa melihat kepada lawan bicaranya, ia hanya menatap keluar melihat lalu lalang orang dibawah sana juga dengan kendaraan yang lumayan ramai melewati jalanan didepan.
"Kenapa harus gue yang batalin?" Jawab Ruvha yang malah berupa pertanyaan, dan itu menyebabkan laki-laki yang bisa dikatakan tunangannya itu menoleh.
"Karena harus lo." Jawab Zeris terlihat tak suka, dia selalu memberi aura permusuhan. Apa yang salah disini? Ruvha juga tak menginginkan pertunangan ini, tapi kenapa seolah itu kesalahannya.
"Kenapa gue? Ini bukan kesepakatan bahkan keinginan gue. Sepanjang malam gue gak bisa tidur mikirin cara buat batalin semuanya tanpa nyentuh gue sama sekali." Ujar Ruvha mengatakan yang sebenarnya, gadis itu sedikit kesal dengan perkataannya seolah semua ini tanggung jawab Ruvha.
"Tanpa nyentuh lo? Lo mau nyeret nama siapa untuk itu?" Tanya Zeris dengan wajah dan nada dingin yang tampak jelas. Ruvha diam dan berpikir, sepertinya ada yang salah. Ruvha merasa kalau penyampaiannya sudah benar, tapi satu kesalahannya yaitu ia lupa kalau Zeris tak tahu yang ia alami selama ini. Jadi, untuk kata Tanpa nyentuh itu sendiri untuk Ruvha berarti ia tak akan disiksa fisik bahkan mental oleh kedua orang tuanya, namun mungkin menurut Zeris kata itu memiliki makna berbeda seolah mengatakan kalau Ruvha akan melimpahkan ketidak setujuan terhadap pertunangan mereka kepada orang lain dan berpotensi besar terhadapnya, mengingat kedua orang tua mereka sepakat dan setuju untuk itu.
"Yang penting pertunangannya batal." Jawab Ruvha sambil melepas cicinnya dan diletakkan diatas meja dan berlalu pergi meninggalkan Zeris yang diam menatap punggungnya menjauh.
Tanpa mereka berdua sadari, satu sama lain terjebak di arah yang sama. Mereka memiliki ketakutan yang sama hanya saja dengan porsi yang berbeda.
Padahal dengan kata sesimpel itu, mereka bisa memahaminya dengan mudah karena mereka saling mengalami. Dan jangan lupa, itu adalah borgol yang harus mereka buka.
Namun sekarang mereka harus memilih.
Mencari jalan dengan cara saling terbuka atau tetap diam dan sama-sama terluka.
.
.
.
.
.
.Next...
Votenya jangan lupa-
Jangan jadi siders yaa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Halayacrep
Teen FictionJangan bertanya apa kesalahanmu. Karena aku yang salah... percaya bahwa kau akan memperbaiki segalanya ~Ruvha Wethaloria Gadis manis itu diam dengan tatapan terluka, mati-matian menahan air mata yang akan tumpah jika saja lelaki itu tak menatapnya...