Haldis berdiri di parkiran Jurusan kedokteran dengan tangan yang setia menggenggam ponsel miliknya.
Ia masih menunggu balasan dari Sean yang katanya bisa memberi tumpangan pada dirinya. Tapi sudah 15 menit ia menunggu, pemuda itu belum juga terlihat.
"Mana sih tu anak" Gerutunya sedikit kesal.
Haldis memutuskan untuk menelpon Sean saja, ia tidak suka menunggu.
Setelah di dering ketiga, panggilannya baru diangkat oleh oknum yang bersangkutan.
"Halo, lo udah dimana?gue udah di parkiran FK nih" Haldis langsung berujar dengan sedikit kesal.
"Aduh sorry banget Hal, gue lupa kalo hari ini gue janji bantuin dosen nyiapin alat praktik buat besok. Duh gimana yaa, lo ada tebengan lain gak?"
Haldis menghela nafas mendengar balasan Sean itu.
"Hah... Yaudah deh ntar gue coba chat Ezra dulu deh, lo lanjut aja" Ujar Haldis sedikit berbohong. Ia tau Ezra tidak bisa memberi tumpangan padanya karena harus menjemput seseorang, tadi saja sahabatnya itu sudah terburu-buru untuk pergi.
"Sorry banget ya Hal, gue beneran lupa. Tapi kalo lo gak dapet tebengan ntar gue minta ijin aja anterin lo dulu" Balasan dari Sean itu membuat Haldis sedikit terkekeh.
"Santai aja, lagian kalo gak dapet tebengan gue bisa naik taksi kali" Ujar Haldis tenang.
"Yaudah gue matiin yaa, lo fokus sama kerjaan lo gih" Lanjutnya.
"Hm.. Hati-hati yaa" Ujar Sean sebelum benar-benar mematikan sambungan telepon mereka.
"Nasib-nasib, ini nih resiko gak bisa nyetir. Keknya gue harus belajar naik motor besok-besok" Rutuk pemuda manis itu.
Tiba-tiba Haldis merasakan tetesan air dari atasnya. Dan yup gerimis mulai turun disana. Memang ini hari tersial untuknya.
"Anjing! pake hujan segala" Umpatnya sebelum akhirnya menepi dan berteduh di bawah atap parkiran. Memang gerimis yang turun tidak terlalu deras, tapi tetap saja akan membuat basah jika ia tetap berdiri di bawah guyurannya.
"Gue minta nebeng Jeno aja kali ya" Okey mungkin Haldis sudah mulai gila karena berbicara sendiri disana.
Haldis berusaha menghubungi sahabatnya itu namun sudah 3 kali ia mencoba, panggilannya tidak di angkat oleh si oknum.
"Sok sibuk lo sat!" Umpatnya tepat pada ponsel miliknya.
Tidakkah Haldis sadar kalau dirinya sudah mengumpat terlalu banyak hari ini.
"Kenapa?"
"Anjing! Setan!" Haldis terlonjak dan hampir saja menjatuhkan ponsel dalam genggamannya.
Ia menoleh pada orang yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Dan betapa kagetnya ia saat melihat Madha sudah berdiri di sana dengan tampang yang sedikut berubah?
"Kenapa disini?"
Haldis masih diam bahkan ketika Madha bertanya padanya dengan nada yang sangat lembut. Dan itu aneh di pendengaran Haldis. Kemana nada kasar dan ketus pemuda itu?
Haldis tersadar dan kembali menoleh ke depan.
"Lagi nunggu Sean" Akhirnya suara Haldis terdengar.
Haldis berujar tenang dan sama sekali tidak melihat ekspresi Madha yang berdiri di sampingnya mulai berubah.
"Lo...deket sama dia?" Madha berujar sedikit ragu.
"Eum lumayan" Balas Haldis santai.
"Tadi gue liat dia lagi bantuin dosen. Bakalan lama keknya, m-mau pulang bareng?" Ucapan panjang Madha menimbulkan raut bingung dari Haldis.
"Bukannya kakak gak mau deket-deket saya? Kan saya udah janji buat ngelepas kakak pas terakhir kita jalan-jalan" Haldis sedikit menghela nafas, ini Madha berniat mempermainkannya atau bagaimana?
Bukannya menjawab Madha malah berjalan menuju motor miliknya. Btw ia membawa motor hari ini karena mobil miliknya sedang di cek rutin di bengkel.
"Nih" Tanpa aba-aba pemuda itu menyerahkan helm pada Haldis.
"Ih saya kan belum bilang mau nebeng" Gerutu Haldis namun tetap memakai helm yang di berikan padanya.
Madha yang sudah duduk di motor Ducati Panigale R miliknya hanya tersenyum samar mendengar gerutuan pemuda manis itu.
"Bisa naik?" Tanya Madha saat melihat Haldis kesulitan menaiki motornya.
"Ini motor kenapa tinggi banget sih" Haldis berucap kesal sambil terus berusana naik.
Greb...
Haldis begitu terkejut saat Madha meraih tangannya dan membantu dirinya menaiki motor tinggi itu.
"Pegangan yaa, gue mau ngebut takut keburu deres" Ucap Madha yang membuat Haldis mengeratkan pegangannya di bahu pemuda itu.
"Pegangannya jangan disitu, tapi disini"
Haldis sama sekali tidak berkutik saat Madha menarik tangannya dan melingkarkanya di pinggang pemuda tampan itu.
Haldis hanya diam bahkan ketika motor yang di kendarai Madha melaju menuju rumahnya.
"Harusnya kakak jangan kaya gini, saya mau lupain kakak" Ujar Haldis lirih yang sesungguhnya Madha dengar.
"Jangan, jangan lupain gue" Sayangnya Madha terlalu pengecut bahkan untuk sekedar mengucapkan hal itu dengan lantang.
Hari ini impian Haldis dulu mulai terwujud. Tapi kenapa hatinya malah semakin sakit? Bukankah Madha mempermainkannya sekarang?
***
Sementara apa yang Jeno lakukan? Entah pemuda itu tengah melamun di sudut kafe sambil menghabiskan americano yang ia pesan. Ini sudah cangkir ke 5 omong-omong.
Ucapan Haldis dan Ezra terus saja berkeliaran di kepalanya. Membuat Jeno mengerang kesal.
"Apa gue beneran salah ya? Gue harus dengerin mereka?" Gumamnya gusar.
Otaknya mengatakan bahwa Reiga dan Nara memang mempermainkannya dan mengkhianati dirinya. Tapi di satu sisi hatinya menolak keras hal itu. Terutama tentang Nara yang berusaha membuat ia dan Reiga berpisah, itu tidak mungkin, Jeno percaya Nara bukan orang yang seperti itu .
Sesungguhnya sejak awal Jeno benar-benar khawatir pada Nara. Ia tidak buta untuk tidak melihat bahwa pemuda manis itu di bully karena nya. Belum lagi oleh Letha, orang yang tadi pagi memaksa ikut dengannya berangkat ke kampus.
Jeno muak dengan gadis itu, tapi ia memilih diam. Pemuda itu juga tau orang-orang yang selalu membully Nara tapi lagi-lagi ia hanya bungkam.
Sekalipun hatinya menjerit khawatir ia tidak bisa berkutik karena egonya. Ego manusia benar-benar berbahaya ternyata.
Saat dirinya asik melamun, seseorang duduk di depannya dan mengejutkan Jeno.
"Long time no see bro" Ujar Orang itu.
"Lo?! Kapan baliknya?" Jeno sedikit terkejut dengan kedatangan orang itu.
"Gue juga lupa sih" Orang itu terkekeh sendiri.
"Kok gak ngabarin bro? Ini juga kalo gak kebetulan lo pasti gak ketemu gue" Jeno berujar sedikit datar pada teman SMP nya dulu. Mereka cukup dekat sebelum pemuda itu harus pindah.
"Sorry deh, gue masih sibuk bantuin masalah sepupu gue jadi lupa ngabarin. Btw gimana kabar lo?"
"Baik sih, lo sendiri gimana?"
"Ya gini gini aja, sehat dan masih jomblo" Ucapnya sedikit bercanda.
"Gak heran sih, siapa juga yang mau sama lo" Balas Jeno.
"Bangsat, enak banget tuh mulut. Gue jomblo karna males pacaran aja, yang ngantri mah banyak siapa juga yang nolak ketampanan paripurna gue" Ucap orang itu percaya diri.
Jeno menggeleng mendengar itu.
"Lo emang gak pernah berubah ya
Jendral"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBCSorry atas keterlambatan updatenya hehe :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
FanfictionNara dan Reiga itu sahabat dekat, mereka punya banyak banget kesamaan sampe suka pun sama orang yang sama. Tapi, takdir mereka tetaplah berbeda