9. Chimon?

900 153 36
                                    

∆ HAPPY READING ∆

Lelaki mungil itu sedang beristirahat di dapur. Kondisi kafe saat ini lumayan sepi tidak seperti biasanya yang selalu ramai. Jadilah Chimon bisa sedikit beristirahat tidak selalu sibuk. Ia duduk di sebelah Namtan yang sedang beristirahat juga.

"Kak," Panggilnya membuat Namtan menoleh. "Kenapa, Mon? Perlu bantuan?" Tanyanya.

Chimon menggeleng, "Satu tahun aku kerja di sini, aku gak pernah tuh liat yang punya kafe ini. Bahkan namanya aja aku gak tau. Kak Namtan tau gak? Secara kan Kak Namtan udah kerja lebih lama dari aku gitu."

"Ouh pemilik kafe, emang sih dari dulu beliau jarang dateng ke sini. Mungkin karna sibuk kuliah juga kali ya." Jawab Namtan.

"Hah? Bos kita masih kuliah, kak?" Tanyanya kaget. Masih muda sudah mempunyai usaha sukses begini.

"Iya, Mon. Sama aku aja lebih tua aku haha." Namtan terkekeh pelan.

"Ouh jadi kalo lebih tua bos, mau Kak Namtan gebet gitu? Hahaha." Chimon berniat menggoda Namtan. Bukannya marah, ia malah ikut tertawa. "Engga juga ah. Dia galak tau aslinya, cuma ketutup muka aja yang bikin dia keliatan kalem."

"Beneran galak? Chimon jadi takut deh. Aku juga lupa belum bilang terima kasih karena waktu itu ga pecat Chi waktu Chi buat masalah itu."

"Ya gitu, tapi dia baik kok. Ya asal kamu ga nyari gara-gara aja sama dia."

"Ih Kak Namtan jangan bikin takut." Chimon mengerucutkan bibirnya lucu membuat Namtan terkekeh. "Astaga adek kakak lucu banget sih pengen aku cubit."

"Ish tau ah. Em ngomong-ngomong siapa nama pemilik kafe ini sih kak?" Tanya Chimon penasaran. Oh ayolah, pemilik kafe ini sangat tertutup. Dan bisa-bisanya Chimon yang sudah berkerja satu tahun tidak mengetahui siapa pemiliknya.

"Namanya tuh-"

"Namtan! Chimon! Ini bantuin kerja, tamu nya udah mulai dateng rame." Namtan langsung berdiri dari tempatnya saat mendengar teriakkan teman kerjanya itu. "Iya sebentar!"

"Ayo, Mon, kerja lagi."

***
Seorang gadis memandang sebuah bingkai foto di hadapan. Dia Puimek. Perlahan ia mengambil bingkai foto tersebut. Di sana terpampang dirinya waktu kecil bersama kedua orang tuanya yang sedang mencium kedua pipinya.

Tangannya perlahan mengusap foto itu. Setelah itu, ia mengembalikan bingkai foto itu ke meja dan berjalan ke luar kamar. Kini tujuannya adalah ruang kerja sang ayah.

Tok tok tok

"Masuk." Suara dari dalam kini terdengar. Dengan segera Puim membuka pintu itu dan langsung melihat ayahnya yang sedang berkutat dengan laptop dan kertas.

"Loh, kenapa anak papa belum tidur hm?" Tanyanya ketika melihat anak kesayangannya yang berjalan ke arahnya.

"Belum ngantuk, papa juga kenapa masih sibuk kerja?" Tanya Puim. Arm-ayahnya meletakkan kertas yang ia pegang. "Bentar lagi juga beres, nanggung sayang."

Puim hanya mengangguk. Ia berjalan ke belakang Arm. Matanya mulai menatap kertas-kertas yang ada di meja. "Banyak sekali tugasnya, aku jadi ragu ingin menjadi dokter." Gurau Puim mencairkan suasana.

Arm pun terkekeh, ia membalikkan badannya menghadap ke arah putri yang sangat ia sayangi ini. "Hm? Benarkah kau ragu?" Arm menaik turunkan alisnya menggoda putrinya. Ia sangat tahu bahwa Puim bercita-cita menjadi dokter dari kecil.

"Ahh, tentu saja tidak. Aku akan menjadi dokter dan menyembuhkan semua pasien ku. Aku tidak akan membiarkan orang meninggal begitu saja hanya karena penyakit yang dia derita. Aku tak akan membiarkan orang lain merasakan sakit yang pernah aku rasakan saat di tinggal dengan orang yang kita cintai. Aku sudah berjanji dengan mama." Jawab Puim mantap. Ayahnya mengusap pelan rambut anaknya sayang.

Chasing You Nanon KorapatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang