11. Pembunuh

897 149 43
                                    

"Nanon!" Panggilan Chimon membuat sang empu menoleh.
Dengan segera lelaki mungil itu berlarian kecil menghampiri Nanon yang baru saja ia panggil.

"Eh, Mon!" Seru Loverrukk. Namun sia-sia, Chimon sudah beranjak dari sana menghampiri Nanon yang hendak berjalan ke parkiran. Nanon menghembuskan nafasnya lelah saat mendapati Chimon berdiri di hadapannya dengan senyum yang sangat ia benci.

"Hai, Mon." Sapa Puim dengan senyum manisnya. Nanon yang mendengar sapaan itu melirik ke arah Puimek tak suka. Sedangkan Puim hanya mengacuhkannya. Ia tak peduli dengan Nanon yang melarangnya dekat dengan lelaki mungil di hadapannya ini.

Chimon tersenyum tak kalah manis, "Hai juga, Puim."

"Mau apa lo?" Tanya Nanon datar. Chimon yang tadi sedang menoleh ke arah Puim mengalihkan pandangannya. "Em itu, mau mulai belajar kapan?"

"Besok, gue mager sekarang."

"Sepulang sekolah?"

"Terserah," Ucap Nanon bodo amat lalu menarik tangan Puimek agar pergi dari hadapan lelaki bertubuh mungil itu membuat sang empu menatapnya sedih. "Hubungan mereka apa ya?" Lirihnya. Saat itu juga ia merasakan pundaknya di pegang.

"Lo sedih liat mereka?" Tanya Fiat ikut memandang ke arah Nanon dan Puimek yang sibuk menggunakan helm. "Hufftt iya, mereka kelihatan cocok. Tapi lebih cocok sama aku tau," Chimon mengerucutkan bibirnya lucu, membuat Fiat terkekeh di sebelahnya.

"Pede lu! Tubuh bocil gini padahal." Sindir Fiat. Chimon langsung menoleh, "Hehh enak aja! Aku sama kamu aja tinggian aku ya! Dasar cebol." Ujarnya tak terima. Bukannya marah, Fiat malah tertawa.

"Gue gasuka sih sebenarnya sama Nanon, tapi apapun yang bikin lo bahagia, gue bakal dukung." Fiat merangkul pundak sahabatnya itu. "Sebelum janur kuning melengkung, bisa kali." Lanjut Fiat sambil menaik turunkan alisnya. Chimon hanya tersenyum menanggapi.

"Hei! Apa yang kalian bicarakan?" Love berlari mendekat ke arah mereka.

.
.

Seperti yang di katakan kemarin, kini keduanya sedang berada di rumah Nanon. Chimon sibuk dengan bukunya dan Nanon baru saja selesai berganti baju.

Tadi Chimon ke sini naik angkot, karena Nanon tidak mau memberinya tumpangan. Untungnya lelaki mungil itu mengetahui dimana letak rumah lelaki berlesung pipi itu. Sedangkan sepedanya, ia titipkan di pos satpam sekolahnya.

Nanon duduk di sebelah lelaki mungil itu yang sedang sibuk menulis soal di lembaran kertas.

"Ini coba kamu kerjain." Chimon menyodorkan kertas yang berisikan 5 soal matematika ke arahnya. Nanon melirik itu kemudian mengambilnya. Ia berdecak sebal, 'Teralu mudah.' Batinnya. Sebenarnya Nanon itu tipikal orang yang termasuk pandai, hanya saja ia malas dan tidak terlalu perduli dengan nilai. Baginya, yang penting naik kelas dan lulus.

Namun sedetik kemudian ia ber smirk. Ia mempunyai sebuah itu. Kemudian lelaki itu meletakkan kertas yang di berikan Chimon tadi ke meja di depannya. "Gue ga paham."

"Yang mana yang ga paham? Bukannya ini materi yang paling mudah?"

"Semuanya."

Chimon menghela nafasnya, "Yaudah sini aku jelasin. " Perlahan tangan mungilnya mengambil kertas tadi. "Ini perhatiin ya, Non." Ia mulai menuliskan angka-angka di sana. Bukannya memperhatikan, Nanon malah sibuk dengan hp nya sendiri. Chimon pun tak menyadari hal itu.

"Nahh, udah paham kan?" Tanya Chimon saat selesai memberikan contoh. Tenggorokannya sangat kering karena berbicara terus menerus. "Hah?" Nanon langsung menyimpan hp nya dan kembali menatap Chimon.

"Kamu gak merhatiin penjelasan tadi?" Tanyanya dengan wajah yang lelah. Nanon mengangkat sebelah alisnya. "Ah sorry. Gue tadi keasikan main hp, jadinya ya fokus. Coba ulang deh." Suruh nya membuat Chimon menghela nafasnya lagi.

Oh ayolah, hampir setengah jam ia menjelaskan materi kepadanya namun bukannya memperhatikan lelaki itu malah sibuk dengan dunianya. Jujur ia sangat lelah sebenarnya.

Chimon kembali tersenyum tulus, "Ah oke aku ulangin. Kamu perhatiin baik-baik ya?" Ucapnya dengan suara yang benar-benar tulus. Ia mulai mengulang penjelasan yang ia berikan tadi. Dan lagi-lagi Nanon tak memperhatikannya. Lelaki itu malah tersenyum senang saat rencana untuk mengerjai Chimon berhasil.

***
"Chimon!!" Suara pintu di gedor keras, dengan cepat Chimon berlari menuju ke arah pintu utama. Ia membuka kunci rumah dan langsung mendapati Win yang mabuk.

"Kak Win astaga," Chimon ingin membantu memapah kakaknya masuk, namun dengan cepat langsung di tepis. "L-loo ggausah sok ppeduli sama gue," ujarnya sambil sempoyongan. Chimon menatap ke arah kakaknya yang berjalan ke ruang tamu. Perlahan tangannya mulai mengunci pintu rumah kembali dan berjalan ke arah dapur untuk mengambilkan air minum untuknya.

"Ini minum dulu kak." Chimon memberikan segelas air minum.

Pyarr

Dengan sengaja Win menepis gelas itu hingga terjatuh. "Kenapa sih lo harus lahir, Mon?" Ujar Win yang masih belum sadar. Chimon menggoyangkan lengan kakaknya. "Kak, sadar."

"Lepas!" Win menepisnya, "Lo . . ." Kakaknya itu menunjuk tepat di depan mukanya. "Seorang pembunuh. HAHAHAHA." Win berkata begitu kemudian tertawa begitu keras. Chimon mematung, pembunuh. Haha pembunuh.

"Kak Iwin sadar pliss."

"Gausah pegang tangan gue anjing! Najis di pegang sama pembunuh kayak lo!" Tekannya.

"Chi . . . Chi bukan pembunuh kak," Bela Chimon lirih. Hatinya begitu sakit saat mendengar kata itu. Win terkekeh sinis, "Lo itu pembunuh. Gue muak liat lo di sini, gue muak setiap hari dengar keributan antara lo dan papa. Kenapa bukan lo aja sih yang mati?"

Mendengar kata itu, Chimon tak tahan. Ia langsung berlari ke arah kamarnya dan menangis sejadi-jadinya di sana. Dirinya terduduk di lantai belakang pintu kamar. "Hiks, aku bukan pembunuh!" Chimon memukuli kepalanya sendiri dengan keras. "Chimon bukan pembunuh kak, Chimon bukan pembunuh hiks." Tangisnya tersedu-sedu.

Ia pikir dengan kedua orangtuanya yang sedang pergi ke luar kota beberapa hari, ia bisa merasakan bahagia di rumah tanpa ada tangis. Tapi nyatanya tidak.

Chimon peranjak dari sana mengambil bingkai foto yang di dalamnya terdapat 3 anak kecil. Win, dirinya, dan satu lagi perempuan yang wajahnya sangat mirip dengannya. "Tapi bener kata mereka, aku yang bunuh kamu, Chimmy. Hiks, seharusnya yang meninggal itu aku bukan kamu." Chimon memeluk erat bingkai foto itu.

"Chimmy maafin Chimon, gara-gara aku kamu gabisa liat dunia lebih lama hiks." Chimon semakin menangis. Chimmy merupakan saudara kembarnya yang telah meninggal saat mereka baru berusia 6 tahun.

Chimon mengusap air matanya dengan tangan mungilnya. Kemudian ia meletakkan bingkai foto itu dan membuka laci nakas dan mengambil curter yang tergeletak di sana.

Chimon menaikkan curter itu hingga pisaunya berada di luar semuanya. Ia menggenggam erat curter itu tak peduli kini tangannya sudah berlumuran darah. "Rasa sakit ini ga sesakit rasa sakitnya papa yang udah kehilangan kamu, Chimmy." Chimon masih terisak. Kemudian ia melepaskan pisau itu dan menggenggam erat dadanya sendiri. Ia ta peduli kini bajunya sudah terkena darah.

"Sakit banget rasanya hiks." Sibuk memegangi dadanya ia sampai tak sadar kini hidungnya mulai mengeluarkan darah segar.

Darah dari hidungnya keluar deras sampai menetes ke lantai kamarnya. "Eh?" Kagetnya. Ia langsung mengambil tisu dengan tangannya yang tidak berlumuran darah dan mengelap hidungnya sendiri.

"Ayo dong berhenti,"

.
.
.

To be continue

Nahh udah double up kan wkwk.

Chimon pembunuh???
Wahh wahh, iyakah?

GAMAU TAU, AYO SPAM KOMEN NEXT😡 AYO SPAM!!😡

Chasing You Nanon KorapatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang