12. Sepeda

817 141 17
                                    

Chimon duduk terdiam di bangkunya. Omongan Win tadi malam terus berputar di otaknya. Sudah lumayan lama kata itu tidak terdengar, dan semalam terdengar kembali.

"Dorrr." Love memegang pundak Chimon berniat membuatnya terkejut, namun gagal. Lelaki mungil itu masih memandang kosong ke luar jendela. Love melirik ke arah Fiat yang baru meletakkan tas nya ke kursi. Fiat mengedikkan bahunya tanda tak tahu.

"Mon?" Panggil Loverrukk. Tak ada sahutan. "Chimon?" Lagi-lagi tak da sahutan dari sang empu.

"Chimon!" Ujar Loverrukk sedikit keras. "Hah?" Kaget Chimon sambil mengusap air matanya yang kini masih tergenang di pelupuk.

"Kalo mau teriak jangan di kelas dong!" Kesal teman sekelasnya yang duduk di pojok depan. "Apa? Masalah buat lo, hah?" Tantang Loverrukk. Teman sekelasnya hanya memandang sinis dan membiarkan. Jika ia melawan Love, sudah di pastikan akan kalah. Jadi percuma saja.

Loverrukk mendengus lalu kembali menatap ke arah sahabatnya itu, "Mon, lo kenapa?" Tanya Love lembut. Melihat muka Chimon tampak pucat, dan .  .  .

"Eh? Ini tangan lo kenapa?! Kok bisa gini?"

"Awh." Ringis lelaki mungil itu ketika Love malah membolak-balikkan tangannya yang kini terbungkus perban.

"Ah maaf, Chi. Aku ga sengaja." Ujarnya merasa bersalah. Sedangkan Fiat menggelengkan kepalanya melihat tingkah sepupu sekaligus sahabatnya ini. "Goblok di pelihara." Lirihnya namun masih bisa di dengar oleh keduanya.

Love hanya bersikap bodo amat tidak penting, pikiranya. Ia kembali memegang tangan Chimon lembut, "Ini kenapa?"

"Awh, pelan-pelan aja, Love."

"Eh maaf-maaf, abisnya kaget."

"Gapapa, ini cuma kemarin lagi masak gasengaja kena pisau." Alibinya.

"Kok pakai perban? Emangnya banyak? Kenapa ga pake plaster kecil aja?"

"Em itu . . ." Chimon terdiam mencari alasan. Bagaimana ini, mana Fiat menatapnya dengan mata penuh selidik. "Eh udah ada gurunya, duduk gihh." Ujar Chimon saat melihat guru yang akan mengajarnya baru saja memasuki kelas. Sangat beruntung dirinya.

.
.

"Boleh duduk?" Chimon yang sedang fokus membaca di perpustakaan menoleh. Ia tersenyum manis saat melihat Puimek berdiri di sebelahnya. "Duduk aja,"

"Kamu lagi baca apa, Chi?" Tanya Puimek yang baru duduk di sebelah lelaki mungil itu.

"Oh ini, lagi baca-baca materi aja. Bentar lagi kan kita kenaikan kelas." Jawabnya. Puim hanya menganggukkan kepalanya paham. Ia mulai membuka halaman novel yang ia ambil tadi.

Pikiran Puim tertuju ke pembahasan tempo hari lalu dengan ayahnya. Ia melirik Chimon yang tengah fokus ke bukunya. Puim memandang lekat Chimon.

"Eh?" Kaget Chimon saat mendapati dirinya tengah di tatap Puim. "Em ada yang salah?" Tanya lelaki mungil itu bingung.

Puim tersenyum, "Engga kok. Semangat ya, Mon. Gu tau lo bisa sembuh." Ujar Puim tanpa sadar membuat Chimon mengerutkan keningnya bingung. "Hah? Apa maksudnya?"

"Eh? Anu engga. Salah ngomong tadi." Jawabnya mencari alasan. Ia lupa, papanya waktu itu berpesan agar pura-pura tidak mengetahui hal yang terjadi. Chimon memang sudah menyuruh Arm-dokter yang merawatnya untuk menyembunyikan penyakitnya dari siapapun.

"Ouh iya," Chimon meletakkan tangan kirinya ke meja. Puim memelototkan matanya kaget melihat perban yang terpasang di sana. "Ini?"

"Ah, cuma kena pisau sedikit. Em Puim, aku duluan ya? Mau ke kelas."

Chasing You Nanon KorapatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang