***
Tidak ada tatapan serius dibanding tatapan Kim Sohyun. Dia menatap untuk seperkian detik, kemudian mengerjap pelan. Karena perasaan dari dulu miliknya sudah sangat melekat sampai sekarang. Tapi dia lupa akan sesuatu, sebuah nama yang pertama kali muncul saat dia terbangun. Wajah pertama kali yang terbayang dibenaknya saat dia terluka. Perasaan khawatir apakah wajah itu membencinya atau menyukainya.
Tae,-
Tiba-tiba Jungkook tersenyum. Dia seakan tahu apa yang tengah Sohyun pikirkan. Apa yang akan Sohyun pertimbangkan, sebab keputusannya itu berimbas kepada seseorang yang sedang menunggunya.
"Aku tahu tentangmu, setiap detik dan jam aku selalu bersamamu, bahkan hari ini aku tahu apa yang sedang terjadi di luar sana."
"Kamu mencintainya, Sohyun."
Bagaimana bisa, bagaimana bisa Jungkook tahu akan perasaan itu. Wajahnya terlihat tenang, tidak benci sekalipun. Sohyun tahu, seberapa besar apapun dia mencintai permen yang telah dibuatnya sejak lama, dia akan lebih menyukai apel karena rasa perasaan yang berbeda. Dua hal yang dikatakan Jungkook adalah tentang dia dan Tae, dan yang pernah dulu Tae katakan tentang menyukai dua hal yang berbeda seperti permen dan apel adalah tentang Karina dan Sohyun.
Itu terjadi sekarang, dua hal yang berbeda, begitupun dengan Tae.
"Sohyun~a, jika kamu pergi, aku akan tetap menjagamu, dan jika aku pergi, aku akan tetap bersamamu."
"Ingat perkataan itu? Ya aku selalu bersamamu, disisimu. Tapi sekarang, seseorang sedang menunggumu."
Jungkook kembali memegang tangan Sohyun. Rasa hangat berubah dingin seketika, Sohyun bisa merasakan kulitnya yang hangat bersentuhan dengan kulit Jungkook yang dingin selayaknya mayat.
"Aku selalu ada bersamamu, Sohyun."
"Jadi, aku mohon. Relakan."
Tidak ada jawaban dari Sohyun. Tubuh dan pikirannya dibawa shock seketika. Dia membeku dan diam, tidak dapat mengakui atau menyangkal apa yang Jungkook katakan. Orang didepannya itu seakan tahu banyak hal tentang dirinya.
"Maafkan aku," gumam Sohyun menundukan kepalanya bagai burung elok yang terluka. Bagaimana bisa dia menjadi semenyedihkan sekarang, dia malu untuk terus mengakui kalau dia tetap menyukai Jungkook. Karena perasaannya itu berbeda, sangat berbeda.
Kini Jungkook tidak lagi memegang tangannya, jari-jari halus itu sudah meraih pelan pipi Sohyun. Dalam keadaan lemah dan diam, dia seperti berada di ambang kepastian. Haruskah dirinya melepaskan Sohyun, begitu pun dengan gadis itu, apakah dia rela melepas bahagiakan orang yang dicintainya.
Belaian pelan penuh kerinduan bisa Sohyun rasakan. Hatinya terluka, patah dan terberai sejenak. Dia tidak ingin itu terjadi, melepaskan seseorang yang sudah dia tunggu. Karena nyatanya ini adalah dunia yang Jungkook buat, dia selalu termenung di ranjang menunggu Sohyun datang. Semua keindahan yang tengah Sohyun rasakan sekarang adalah dunia yang Jungkook buat untuk dirinya. Jiwa itu sebenarnya kesepian.
"Tidak ada kata maaf, itu hak mu, bukan hak ku. Jalan yang kamu lalui masih panjang, banyak hal yang harus kamu ceritakan. Akulah yang seharusnya minta maaf," ujar Jungkook, kemudian dia tersenyum.
"Maafkan aku."
Yang harus Sohyun lakukan sekarang adalah merelakan. Tetapi kata maaf yang keluar dari bibir Jungkook terasa menyakitkan.
***
Ekpresi serius Tae mendominasi wajah tampannya. Dia menunggu di depan pintu rumah dengan keadaan marah, hingga seseorang membukakan pintu.
"Bi? Dimana ayah?" ucapnya melenggang masuk melewati wanita tua yang telah membukakan pintu untuknya.
Wanita itu pun menjawab, "ada di ruang kerja-"
Segera setelah dia tahu dimana si pemilik rumah berada. Tae tidak sungkan langsung menerobos masuk tanpa memperdulikan yang lain, termasuk munculnya seorang wanita dengan ekspresi heran dari balik pilar tangga.
"Tae? Kenapa tidak bilang kamu akan datang kemari?" Bahkan saat Jieun bertanya pun Tae tidak menjawabnya. Anak itu terus berjalan lurus menyusuri koridor. Disana Jieun merasa heran, apa yang sedang terjadi, kenapa Tae terlihat marah dan serius.
Dengan beringsut kakinya terus berjalan dan berjalan. Suatu arah dan tempat sudah ia tetapkan, bahkan hatinya yang kacau balau membuat dia kesal sendiri. Pintu itu segera dia buka, menampilkan sebuah ruang kerja berkapasitas luas dengan banyak rak dan pajangan menghiasi. Saat itu seorang pria duduk tenang dengan kacamata yang masih bertengger. Ekspresinya tidak terkejut sama sekali karena seseorang telah menerobos masuk tanpa permisi.
"Apa yang kamu inginkan sekarang?" ujar Jeong-in masih sibuk mentandatangi berkas-berkas kerjanya. Dia bahkan tidak tertarik dengan apa yang Tae bawa.
Tae meletakan berkas yang dia bawa tepat di atas meja Jeong-in, bukannya peduli, ayahnya itu hanya menghela kasar. Seakan kedatangan Tae hanya angin lalu.
Dalam kertas itu bertuliskan data kunjungan Hwan Eunhee di setiap bulannya ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Tae sedikit pun.
"Ayah menyembunyikan semua itu dariku," desis Tae masih berdiri dengan emosi yang dia tahan.
Jeong-in bukannya tidak peduli, tapi dia tahu. Dia tahu jika akan ada waktu dimana anaknya akan datang kepadanya dan meminta penjelasan. Hanya saja, Jeong-in tidak pernah mengira akan selama ini. Seharusnya anak itu sadar akan apa yang terjadi. Bukannya dia terus berada dekat dengan keluarga, Tae justru memutuskan hubungan antara ayah dan anak.
Kembali ke Jeong-in. Dia melepaskan kacamata sembari melirik sejenak apa yang Tae bawa. "Aku tidak habis pikir, kamu akan datang sekarang."
Tae mendecih lalu berkata, "apa itu tidak sesuai dugaan? Apakah kamu mengira aku akan diam dan tidak pernah menyadari apa yang terjadi? Begitu bodohnya aku berusaha untuk tahu-"
"Seharusnya dulu, bukan sekarang," ujar Jeong-in memotong.
Bagaimana bisa, bagaimana bisa Tae yang selalu mendapat pukulan dari ayahnya harus selalu terbuka dalam segala hal? Pria tua itu sudah membuat hati Tae terluka, dia sudah menganggap bahwa seorang ayah dalam diri Jeong-in sudah menghilang.
Lalu sekarang? Ayahnya itu meminta kebaikan Tae dan terus menjalin ikatan ayah dan anak tanpa ada rasa kecewa sedikit pun? Mustahil, seorang ayah yang dulu Tae kenal tidak pernah memperlakukannya dengan kebencian.
"Kalau saja ibu tidak meninggalkanku dan ayah mau bercerita apa yang terjadi. Aku tidak akan seperti ini!"
Ya, sejak dulu sampai sekarang Tae lah yang pertama untuk memutuskan hubungan keluarga, antara dirinya dan Jeong-in. Bukan sekali saja dia merasa kecewa, melainkan berkali-kali.
Dan, dan satu yang tidak dia mengerti. Kenapa Jeong-in sangat berusaha membuatnya harus menikah dengan Kim Sohyun, menjalin hubungan bisnis. Tapi, itu adalah sedikit kebaikan yang bisa Tae syukuri.
"Banyak alasan yang harus kamu ketahui."
Keduanya berada di percakapan yang mengharuskan untuk tidak diam. Jeong-in masih duduk di kursinya, sedangkan Tae berdiri dan meminta penjelasan. Betapa berat bagi keduanya untuk berterus terang. Ada banyak yang harus Tae ketahui dan dirinya terima, karena segala yang akan Jeong-in katakan adalah hal yang sulit dikatakan.
***
Yap, sesuai dugaan kalian. Tapi ingat, mimpi bisa jadi pilihan. Vote dan komennya dong, semangatin, biar makin gercep up chapter selanjutnya, lup lup buat kalian yang baca <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Crazy Rich Korean ✔
FanfictionKetika dua insan manusia berlatarkan keluarga terkaya di Korea harus menghadapi masalah perjodohan, yang mengharuskan keduanya saling mengikhlaskan pasangan satu sama lain. Si pria adalah pemegang saham terbesar di perusahaan ternama di Korea, dan s...