Chapter 3

4.9K 614 4
                                    

[Jangan lupa vote ya:):)]


<<The girl with burden in her back>>


Hari sudah hampir malam ketika (Name) melangkah memasuki penthouse milik orang tuanya di Roppongi. Ia sudah sangat lelah apalagi semenjak kejadian liar yang melibatkan gadis normal sepertinya bersama berandal nakal tadi sore.

(Name) melepaskan mantel luarnya yang tebal dan menyampirkannya di sandaran sofa ruang duduk. Ia baru saja melangkah masuk ke kamar ketika suara langkah kaki mendekat kepadanya, yang ternyata tidak lain ialah ibu (Name) yang berjalan menghampirinya.

"(Name) kau udah pulang?" tanya ibu name dan melanjutkan ucapannya, "Apa kau baru saja pulang dari tempat les?"

(Name) diam sejenak. Ia bingung bagaimana ia harus menjelaskan kejadian yang baru saja ia alami tadi. "Tidak. Aku tidak les tadi. Ada urusan mendadak."

Ibu (Name) mengernyitkan dahinya. "Kenapa kau tidak les? Kau tahu kan kau tidak boleh bolos les. Atau nilaimu akan menurun."

(Name) terdiam.

"Yasudah. Kita akan membahas itu nanti." Ucap ibu (Name) menghela napas dan menambahkan, "Ayo duduk di ruang tamu sebentar. Ada yang perlu kami bicarakan."

(Name) mengikuti ibunya yang berjalan menyusuri ruang tamu. Dan disitu sudah ada ayahnya yang sudah duduk di ruang tamu. Kemudian (Name) duduk di sofa depan ayahnya.

"(Name), seminggu lagi upacara kelulusan mu. Kami ingin kamu memilih jurusan bisnis agar nanti bisa meneruskan perusahaan Ayah saat kamu kerja nanti." Ucap ayahnya.

"Kami membahas ini sekarang karena tidak punya waktu. Kami selalu sibuk kerja dan kau les sampai malam." Kini ibunya ikut menambahkan.

Hening. (Name) tidak tahu harus berkata apa. Bibirnya membisu. Tiba-tiba saja perasaan (Name) menjadi sensitif. Orang tua (Name) hanya peduli pada nilai dan karirnya. Mereka bahkan tidak menyadari ada memar di wajahnya. Atau mereka memang tidak peduli.

Kata yang pertama kali keluar dari mulut orangtuanya hanya tentang ambisi mereka bukan tentang kepedulian pada anaknya seperti sebatas menanyakan apakah anaknya itu baik-baik saja.

(Name) tersenyum miring menundukan kepalanya. "Aku baru pulang dan kata-kata itu yang pertama kali keluar." Celetuk (Name) miris.

"Apa maksudmu?" tanya Ayahnya.

(Name) mengangkat wajahnya, "Bukan apa-apa." Lalu melanjutkan, "Soal tadi. Bagaimana jika aku menolaknya?"

"Terus kamu mau masuk jurusan apa? Kedokteran? Hukum? Atau yang lainnya?" kali ini giliran ibunya yang berbicara.

"Aku ingin buka brand clothing dan menjadi penulis." Jawabku dengan wajah datar tanpa mempedulikan reaksi orang tuanya.

Orang tua nya mengerjap terkejut. Ia tidak bias langsung menjawab karena tercengang heran mendengar pengakuan (Name).

"Apa kau sudah gila?" tanya Ibunya mulai tidak sabaran. Ekspresi kesal mulai terlihat.

"Aku serius."

"Tidak mungkin kita akan mengizinkanmu. Lihat kakak perempuan mu, sangat sukses dengan pekerjaannya sekarang. Dia cantik dan disegani orang." Kini giliran ayahnya yang berbicara. Ia melanjutkan, "Kau tidak akan di hormati jika menjadi penulis. Tidak menghasilkan banyak uang juga."

"Lalu, apa? Kau mau membuka brand clothing mu sendiri? Kamu pikir itu mudah? Kamu pikir itu akan langsung menjadi brand yang besar? Setidaknya kamu harus menjadi orang yang berpengaruh dulu untuk membuat brand mu dikenal. Mimpi yang tidak jelas seperti itu sebaiknya kamu lupakan saja."

My Sweet Criminal  X Haitani RanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang