20. Tindakan

71.1K 3.8K 49
                                    

Maaf baru update :)

Yuk ramein, jangan lupa vote dan komen

Happy Reading!

***

Aku mengikuti langkah Wildan yang menuju ruang inap Aga, sebenarnya aku ingin datang besok-besok saja tapi mau gimana lagi, pasti sekarang Eyang Swastika tambah membenci ku, iya nggak papa sih. Aku juga puas memeberi peringatan kepada Eyang.

Aku tidak setuju saat dia mengganggap orangtuaku hanya memanfaatkan keluarga Aga. Entah mengapa Eyang Swastika begitu tidak menyukaiku. Padahal perjodohan ini karena Papa Erlan, Papanya Aga sendiri. Mungkin alasannya karena aku tidak punya keluarga lagi. Jadi mereka ingin aku menjadi bagian dari mereka, tapi siapa sangka Eyang Swastika malah tidak suka kepadaku.

Sampai di depan pintu ruang inap Aga, aku masih agak ragu masuk atau tidak. Tapi Wildan malah menarikku masuk tanpa aba-aba.

Dasar emang pemaksa!

Aku cukup lega, saat mendapati ruangan ini tidak terisi banyak orang, seperti yang aku pikirkan. Dan Aga yang sedang berdiri entah mau kemana selang infusnya pun sudah tidak menancap di punggung tangannya.

Aga menantapku agak kaget.

Dia menghela napas. "La, kemana aja sih. Gak usah dengerin omongan Eyang," ujarnya terlihat lelah.

Aku hanya bisa diam tanpa banyak kata, tapi aku udah gak tahan sama omongan Eyang mu itu Ga.

"Terus aku harus diam aja. Iya?" tanyaku pelan, padahal di sini masih ada Wildan yang mendengarnya.

"Gue keluar aja, selesaiin baik-baik lo berdua. Jangan ribut, kalian udah dewasa pikir matang-matang keputusan yang diambil." Wildan keluar setelah mengucapkan kata nasihat-nya.

Aku memilih untuk diam saja, lagian mau bicara apa lagi.

"Kita pulang aja." ujar Aga yang mengejutkanku. Emang dia udah sembuh?

"Kalau belum sembuh ga usah sok-sokan mau pulang!" ujarku ketus, biarkan saja, dia kadang perlu di galakin.

Aku meliriknya sekilas. Kurasakan Aga mulai mendekat ke arahku.

Aga menarik lenganku pelan, hingga posisiku sekarang menghadap kearahnya. Kita sama-sama diam dan saling menatap hingga beberapa menit.

"Kita pulang. Bicara di rumah."

Aga berbicara tanpa mau menerima bantahan apapun, kini sekarang dia malah menuntunku untuk keluar dari ruangan.

"Tunggu dulu," Aku melepaskan tanganku yang di genggam Aga, rasanya kurang nyaman saja.

"Emang udah bilang sama keluarga kamu?" tanyaku agak kesal. Masih marah dengan Aga.

Aga berdecak pelan. "Keluarga kita La!"

"Aku udah bilang, jadi gak usah kamu pikirin lagi," lanjutnya.

Keliatannya dia udah sembuh, terbukti sifatnya yang kembali menyebalkan seperti biasa. Selalu ribut dengan Aga, sekarang menjadi rutinitasku.

Aku tidak menanggapinya dan kembali diam saja.

"Ayo."

Sekarang Aga kembali menarikku pelan, padahal tanggan kanannya masih di perban. Tapi dia seolah tidak merasakan sakit.

Aku hanya mengikuti langkah pelan Aga, membiarkan dia yang mendominasi. Ternyata di parkiran sudah ada supir dari keluarga Aga. Tanpa banyak kata aku menuruti perintahnya untuk segera menaiki mobil, berharap apa yang nanti di bicarakan oleh Aga, tidak berakhir menyakitkan.

Marriage Life (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang