Sagara terdiam cukup lama setelah mendengar perkataan Nasya. Lelaki itu membuyarkan lamunannya dan beralih menatap Nasya yang tengah mengobati luka di lututnya. Dengan sorot yang kembali tajam, ia melangkah mendekat ke arah Nasya. “Dari mana lo tahu kalau gue pernah berniat bunuh diri?” tanyanya dengan suara lirih, seolah khawatir ada orang lain yang mendengarnya.
Nasya terkesiap kaget ketika mendengar suara Sagara, ia pikir lelaki itu sudah pergi tetapi ternyata masih berada di sini. Menetralkan keterkejutan lalu mendongak, Nasya menatap Sagara sembari berpikir. Tidak mungkin bukan kalau ia bilang bisa melihat masa depan?
“Udah kebaca dari muka lo,” jawab Nasya pada akhirnya.
Alis tebal Sagara bertaut, lelaki itu terlihat tengah berpikir. Selang beberapa detik rahangnya mengetat dan wajahnya mengeras. Ia menunduk, menatap Nasya dengan kilat marah di bola matanya. “Lo main-main sama gue?”
“Hah? Enggak!” Apa pula maksud dari perkataan kakak kelasnya itu? Apakah Sagara mengira kalau Nasya tengah bercanda soal omongan jangan bunuh diri?
Sagara menatap tepat ke dalam bola mata Nasya cukup lama seperti tengah mencari tahu sesuatu dari gadis itu. Ia menghela napas singkat lantas menegakkan tubuhnya.
Sebelum meninggalkan UKS, Sagara menatap ke arah Nasya sekali lagi dengan sorot tak terbaca.
“Itu orang kenapa sih? Mau bunuh gue pakai tatapan matanya?” gumam Nasya seraya bergidik ngeri. Tidak dapat dipungkiri kalau tatapan Sagara berhasil membuat nyalinya menciut walaupun tadi ia tetap berusaha terlihat berani.
***
Nasya menggigit bantal dengan gemas. Adegan di dalam drama yang tengah ia tonton berhasil membuatnya baper bukan main. Gadis itu membulatkan matanya ketika melihat sang pemeran utama pria hendak mencium sang pemeran utama wanita. Nasya menelan ludah. Sedikit lagi ia dapat melihat bibir kedua pemeran itu bersatu, namun suara seseorang mengejutkannya.
“Nasya! Ke sini sebentar!” seru Mama dari arah dapur.
Kesal, Nasya melempar bantal gulingnya dan melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga menuju dapur. “Apa sih, Ma?”
“Merica bubuk, saus, dan minyak goreng habis. Beli sana di minimarket,” perintah Mama Nasya.
“Suruh Bang Arhan sekali-kali, Ma! Aku sibuk!”
“Sibuk apa? Nonton drama?” sindir Mama. “Contoh tuh Abang kamu, dia lagi sibuk belajar di kamar.”
Tidak ingin Mamanya semakin mengoceh, pada akhirnya Nasya mengangguk patuh. “Mana uangnya?”
“Di dompet Mama, ada di atas meja,” tunjuk Mama ke arah meja di depan televisi.
Nasya mengangguk. Gadis itu kembali ke kamar terlebih dahulu untuk mengambil jaketnya lantas memakainya, berjaga-jaga agar tidak bersentuhan kulit dengan orang lain. Ia kembali ke lantai satu untuk mengambil uang dari dompet Mamanya. Ketika melihat selembar uang dua puluh ribuan, ia tersenyum penuh arti dan mengambilnya.
“Ma! Uang dua puluh ribunya buat aku ya? Ongkos jalan!” teriak Nasya dengan suara lantang lantas langsung berlari keluar rumah karena takut diomel oleh Mamanya.
Langit mendung di sore hari menyambut Nasya setibanya ia di depan rumah. Khawatir hujan, gadis itu mengambil payung dan membawanya. Ia berjalan riang sembari bersenandung lagu dari soundtrack drama favoritnya. Rambutnya yang panjang beterbangan tertiup sang angin sore, namun Nasya tidak mempermasalahkannya, ia justru memejamkan matanya sejenak untuk menikmati sapuan angin pada wajahnya.
Suara petir yang tiba-tiba terdengar dari atas sana membuat Nasya terlonjak kaget. Mencium bau-bau akan hujan, ia memutuskan untuk berlari agar lebih cepat sampai di minimarket. Namun, betapa kecewanya Nasya ketika melihat minimarket langganannya tutup. “Tutup nggak bilang-bilang!” kesalnya.
Nasya berbalik hendak kembali ke rumah, tetapi ketika teringat dengan kegarangan Mama, gadis itu pun mengurungkan niatnya. Ia kembali berbalik dan meneruskan langkah, memutuskan untuk mendatangi minimarket yang lain, meskipun jaraknya cukup jauh dari rumahnya yaitu sekitar setengah kilometer.
Tangan Nasya memutar-mutar gagang payung yang ia pegang, lanjut berjalan sembari bersenandung. Gadis itu mendongak, menatap langit di atas sana yang semakin menggelap, sepertinya sang awan hitam akan segera menumpahkan tangisnya.
Suara petir yang kembali terdengar membuat Nasya mempercepat langkahnya. Sebenarnya ia tidak takut dengan suara petir, lebih tepatnya hanya takut terkena saja. Bisa mati gosong kalau dirinya terkena petir.
Waktu terus bergulir sampai akhirnya Nasya tiba di minimarket tujuannya. Gadis itu menghembuskan napas lega ketika melihat minimarket itu buka.
Nasya mendorong pintu dan memasuki minimarket yang tampak sepi. Gadis itu mengambil barang yang diminta Mamanya.
Ketika hendak menuju kasir, mata Nasya menangkap pandang es krim yang bermacam-macam. Gadis itu menelan ludah dengan susah payah ketika melihat salah satu es krim cokelat favoritnya. Tanpa pikir panjang ia mengambil es krim tersebut.
Nasya melangkah menuju kasir dan menyerahkan barang belanjaannya. Ketika hendak membayar, ia terlebih dahulu memanjangkan lengan jaketnya hingga menutupi jari-jarinya barulah menyerahkan selembar uang berwarna biru.
“Ini kembaliannya,” ucap sang kasir.
Nasya mengambil kantung keresek berisi belanjaanya dan uang kembalian dari sang kasir. “Makasih,” tuturnya ramah.
Begitu keluar dari minimarket, Nasya berdiri sejenak, kemudian merogoh keresek dan mengambil es krim yang ia beli. Dengan tak sabar gadis itu membuka bungkus es krim lantas memakan es krim cokelat itu. “Manis banget,” ujarnya dengan raut senang sembari menjilat es krim di tangannya.
Nasya mulai melangkah meninggalkan minimarket. Namun, tiba-tiba rintik air berjatuhan dari atas sana. Ia pun bergegas membuka payung dan memakainya. Sekarang gadis itu tampak kerepotan dengan tangan kanan yang memegang es krim dan tangan kiri yang memegang payung serta keresek.
Nasya terus berjalan di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Ketika sandal yang ia kenakan basah, ia tidak mengeluh karena saking asyiknya menikmati es krim cokelat di tangannya. Ia menatap ke depan sembari menjilat es krim, tepat saat itulah tiba-tiba matanya menangkap pandang sosok lelaki berjaket cokelat yang keluar dari salah satu café dan berjalan di bawah guyuran hujan, tanpa payung hingga membuat tubuh lelaki itu basah.
Kaki Nasya bergerak cepat untuk menyusul sosok lelaki berjaket cokelat. Ketika sampai tepat di sebelah sosok itu, ia mengangkat payungnya tinggi-tinggi. “Jangan hujan-hujanan, entar sakit loh, Kak.”
Sagara, sang sosok lelaki berjaket cokelat itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke samping. Ia tertegun mendapati Nasya berada di sebelahnya dan tengah memayunginya dengan tangan terangkat tinggi-tinggi. Kedua remaja itu terdiam cukup lama, saling tatap dengan sorot yang berbeda.
“Lo …” Sagara menggantung ucapannya.
“Kenapa?”
“Es krim lo netes.”
Perkataan Sagara kontan membuat Nasya menganga. Gadis itu menatap es krim cokelat di tangan kanannya yang mencair. “Kampret! Jadi cair gini!” umpatnya. Dengan tergesa ia menjilat jari-jarinya yang terkena lelehan es krim lantas melahap es krim cokelatnya sampai tandas.
Sagara menatap kelakukan Nasya tanpa berkedip hingga tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan seulas senyum tipis.
Menyadari omongannya dan kelakuannya barusan, seketika Nasya dilanda perasaan malu. Bagaimana bisa ia mengumpat dan berlaku jorok dengan menjilat lelehan es krim di jarinya?
Nasya berdehem. Gadis itu mendongak untuk menatap Sagara, namun pemandangan di depannya membuat ia terpana. Sagara tengah tersenyum ke arahnya, meskipun tipis tetapi berhasil membuat Nasya berdebar tak keruan. “Lo ganteng kalau senyum kayak gitu, Kak,” ucapnya spontan.
Kedua remaja itu terbelalak. Yang satu terkejut dengan ucapannya sendiri dan yang satunya terkejut karena mendapatkan pujian secara mendadak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...