Happy reading!
***
Suasana berubah hening di antara Nasya dan Sagara. Mereka masih saling tatap dengan sorot kaget hingga tiba-tiba suara petir yang terdengar membuat kedua remaja itu tersadar dan saling membuang muka.
Nasya membuang stik es krim di tangannya lalu memindahkan keresek yang berisi barang belanjaannya ke tangan kanan. Tangan kirinya masih mengangkat tinggi-tinggi payung untuk memayungi dirinya dan Sagara. Gadis itu melirik sejenak ke arah Sagara yang masih terdiam sembari menatap jalanan yang diguyur hujan.
"Bisa lo yang pegang payungnya, Kak?" ucap Nasya, membuka pembicaraan.
Sagara kembali menatap Nasya, kemudian tanpa berucap lelaki itu meraih payung di tangan kiri Nasya lantas mengambilnya, memayungi mereka berdua. Tindakan Sagara nyaris membuat Nasya terpekik kaget, ia was-was seandainya tadi tangan Sagara menyentuh kulit tangannya. Nasya masih belum berani untuk kembali melihat masa depan Sagara. Ia takut merasa bersalah kalau nantinya melihat sesuatu yang mengerikan tetapi tidak sanggup membantu.
"Ayo jalan, Kak. Biar gue antar pulang," tutur Nasya sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain, tidak sanggup bertatapan terlalu lama dengan bola mata hitam pekat milik Sagara.
"Hm," gumam Sagara sebagai respon. Lelaki itu sejujurnya bingung dengan dirinya sendiri. Mengapa ia menurut saat Nasya mengantarnya pulang? Padahal biasanya ia selalu menghindar dari orang lain dan menolak bantuan mereka.
Kedua remaja itu berjalan bersisian dalam diam di bawah guyuran hujan. Nasya yang tidak menyukai keheningan seperti ini karena membuat atmosfer di sekitar menjadi canggung pun mencoba mencari topik pembicaraan. "Rumah lo di dekat sini?" tanyanya sembari menoleh ke samping lantas mendongak untuk menatap Sagara.
"Gue tinggal di apartemen," sahut Sagara tanpa menatap Nasya.
"Apartemen yang mana?"
"Terdekat dari sini."
Perkataan Sagara berhasil membuat mulut Nasya terbuka lebar. Hanya ada satu apartemen yang jaraknya paling dekat dari tempat mereka berada dan setiap hari Nasya selalu melewati apartemen tersebut jika hendak berangkat ke sekolah, bahkan ia sering jogging di akhir pekan melewati apartemen itu. Bagaimana bisa ia tidak tahu kalau Sagara tinggal di sana? Berarti jarak rumahnya ke apartemen Sagara cukup dekat, hanya sekitar satu kilometer.
"Lo udah lama tinggal di apartemen?"
"Hm."
Gumaman singkat dari Sagara membuat Nasya mencebik. Apakah lelaki itu sedang sakit gigi atau malas menjawab pertanyaannya yang terlalu menyinggung privasi?
Dikarenakan malas mendapatkan jawaban singkat lagi dari Sagara, Nasya pun memilih untuk diam. Sesekali gadis itu mendongak dan melirik ke samping untuk menatap Sagara. Nasya tidak menyesali ucapannya beberapa saat yang lalu bahwa Sagara terlihat tampan saat tersenyum, karena faktanya lelaki itu memang tampan, bahkan saat sedang tidak tersenyum seperti sekarang ini pun tetap tampan. Seandainya tidak ada gosip negatif tentang Sagara, bisa dipastikan banyak siswa perempuan yang mengantre untuk menjadi pacar lelaki itu.
Ditemani keheningan, akhirnya Nasya dan Sagara sampai di depan apartemen lelaki itu. Sagara yang tengah memegang payung berhenti berjalan dan otomatis Nasya juga menghentikan langkahnya.
Sagara menghadap Nasya, kemudian menyerahkan payung Nasya kepada gadis itu. "Payung lo."
"Lo nggak mau nawarin gue masuk dulu atau nawarin gue minum?"
Nasya tahu kalau ia tidak tahu malu, namun sejujurnya ia haus saat ini. Kebiasaan yang dirasakan oleh Nasya setelah makan es krim. Bukannya menghilangkan rasa haus, melainkan malah semakin bertambah haus, ditambah lagi ia baru saja berjalan cukup jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...