Secepat itu Sagara memberi tahu kepada Rendy dengan cepat pula pria itu bertindak. Rendy tidak lagi banyak bertanya, melainkan percaya kepada penjelasan Sagara yang berusaha menjelaskan sang pelaku yang kata Sagara adalah orang suruhan ibu tirinya.
Rendy bergerak melapor kepada polisi kenalannya, mulai menyelidiki kasus tersebut. Selama berhari-hari Rendy dan beberapa polisi berusaha mengumpulkan bukti bahwa pelaku yang berusaha membunuh Sagara adalah orang suruhan ibu tiri Sagara, sekaligus mencari bukti perbuatan ibu tiri dan kakak tiri Sagara yang telah melakukan kekerasan fisik kepada lelaki itu selama bertahun-tahun. Satu lagi, mereka juga berusaha mengumpulkan bukti bahwa kakak tiri Sagara alias Nendra adalah pelaku yang meracuni ayah Sagara.
Sekitar satu minggu berlalu, semua bukti sudah terkumpul. Dugaan Sagara memang tepat, ternyata pelaku yang berusaha membunuh Sagara adalah orang suruhan ibu tirinya. Tanpa membuang waktu, Rendy segera membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dengan banyak dakwaan, pada akhirnya ibu tiri dan kakak tiri Sagara berhasil memasuki jeruji besi.
Keputusan final dibacakan oleh hakim. Tepat saat itulah mata Sagara bertemu pandang dengan mata ibu tirinya yang menyorot tajam. Sempat tubuh Sagara gemetar, namun segera mereda berkat seseorang yang menggenggam tangannya. Sagara menoleh ke samping dan mendapati Nasya di sebelahnya yang tengah mengulas senyum.
“Semuanya udah selesai, Kak. Mulai sekarang jalani hidup lo dengan bebas, nggak usah takut lagi,” ujar Nasya.
Sagara mengangguk, lelaki itu membalas genggaman tangan Nasya dengan erat.
“Thanks udah mau nemenin gue.”
“Sama-sama,” sahut Nasya tanpa melunturkan senyumnya. “Habis ini mau lihat kakak tiri lo diadili dulu atau langsung pergi?”
“Kita pergi sekarang aja.”
Sagara menarik tangan Nasya, kedua remaja itu berdiri bersama. Sebelum keluar dari ruang pengadilan, Sagara mengulas senyum kepada Rendy yang berada di sana. Lelaki itu benar-benar berterima kasih kepada Rendy, karena berkat bantuan pria itulah semuanya dapat terselesaikan.
Tiba di dekat motornya, Sagara meraih salah satu helm lantas memakaikannya kepada Nasya secara suka rela, barulah lelaki itu memakai helmnya sendiri. Perhatian kecilnya itu selalu berhasil membuat Nasya berdebar hebat, tanpa lelaki itu ketahui tentunya.
Ketika motor yang Sagara kemudikan memasuki jalan raya, Nasya mencondongkan tubuhnya ke arah depan, kemudian melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Sagara. Bola matanya lantas bergerak menatap wajah Sagara melalui kaca spion motor.
“Kenapa?” tanya Sagara yang menangkap basah sang pacar yang tengah menatapnya melalui kaca spion motor.
“Gue udah pernah bilang belum ya?” tanya Nasya masih dengan menatap Sagara melalui kaca spion motor yang juga dibalas tatap oleh lelaki itu.
“Bilang apa?”
“Kalau lo ganteng. Sumpah, lo kayaknya cowok paling ganteng yang pernah gue temui,” jujur Nasya, tanpa niat menggombal, apalagi membuat Sagara berdebar tak keruan.
Sialnya, ucapan Nasya berhasil membuat Sagara merasakan hal yang tidak diduga oleh Nasya. Bahkan, kini wajah lelaki itu memanas. Ia tahu kalau Nasya tidak sedang menggombal, namun entah mengapa dirinya merasa salah tingkah.
Menyadari tingkah Sagara, Nasya pun menyemburkan tawanya.
“Lo salting?”
“Gue salting? Enggak!” kilah Sagara, namun wajah lelaki itu justru semakin merah.
Tawa Nasya bertambah kencang melihat wajah Sagara saat ini. Benar-benar menggemaskan menurutnya.
“Berhenti ketawa, Na. Gue jadi nggak fokus nyetirnya,” kata Sagara dengan raut kesal.
Detik itu juga Nasya langsung menghentikan tawanya. “Oke-oke.”
Terjadi keheningan selama beberapa detik sebelum suara Nasya kembali terdengar, “Kak.”
“Hm?”
“Kita mau ke mana?” tanya Nasya. Ia baru menyadari kalau Sagara tidak sedang mengemudikan motornya ke arah rumahnya ataupun ke arah apartemen lelaki itu. Lalu, mau dibawa ke mana dirinya oleh Sagara?
“Ke suatu tempat.”
“Ya suatu tempatnya tuh mana?”
“Entar juga lo tahu.”
Bibir Nasya mencebik. Pada akhirnya ia memilih untuk menikmati perjalanan dengan menumpukan dagunya ke pundak Sagara, kemudian membuka kaca helmnya dan memejamkan mata untuk menerima angin sepoi yang menerpa kulit wajahnya.
Beberapa menit kemudian, motor yang dikemudikan oleh Sagara sampai di sebuah pemakaman umum. Nasya mengerjap bingung, pasalnya ini bukan pemakaman umum tempat di mana Ayah Sagara dikebumikan. Lalu, Sagara mau mengajaknya bertemu siapa di sini?
“Kita mau ketemu siapa di sini, Kak?” tanya Nasya usai helmnya dilepaskan oleh Sagara. Gadis itu bersiap untuk menjewer telinga Sagara seandainya lelaki itu menjawab, “entar juga lo tahu”.
“Nyokap gue.”
Jawaban Sagara berhasil membuat Nasya terdiam mematung selama beberapa detik. “Kenapa lo nggak bilang dulu?”
“Hm?” sahut Sagara dengan raut bingung.
“Gue nggak bawa apa-apa! Seenggaknya kalau lo bilang, gue bisa beliin bunga,” kesal Nasya.
Sagara meraih tangan Nasya, kemudian menggenggamnya. Mereka mulai berjalan memasuki area pemakaman.
“Nyokap gue nggak suka bunga.”
“Masa sih?”
Sagara mengangguk sebagai jawaban.
Langkah Sagara terhenti di depan sebuah makam. Lelaki itu berjongkok diikuti oleh Nasya di sebelahnya. Tangan Sagara terulur untuk mencabuti rerumputan yang sudah tumbuh di atas gundukan makam tersebut, Nasya pun melakukan hal yang sama.“Bu, sekarang semuanya udah selesai,” ujar Sagara, berbicara seolah sang ibu benar-benar berada di dekatnya. “Gara nggak akan takut lagi, karena nggak ada yang harus ditakuti.”
Senyum Nasya terbit ketika mendengar ucapan Sagara.
“Ah, iya, ini Nasya. Dia pacar Gara.” Sagara beralih menatap Nasya, mengamati gadis itu sejenak sebelum kembali menatap pusara sang ibu. “Dia cantik ya, Bu?”
Senyum Nasya bertambah lebar usai mendengar ucapan Sagara.
Setelahnya Nasya sibuk mendengarkan Sagara yang berceloteh di depan pusara ibunya. Ternyata lelaki seperti Sagara bisa berubah menjadi cerewet ketika berada di dekat sang ibu.
***
Mata Nasya telah terpejam beberapa saat yang lalu, gadis berambut panjang itu baru saja memasuki alam mimpi. Dengkur halusnya terdengar di dalam ruang kamar yang sunyi.
Senyum Nasya mengembang di dalam tidurnya ketika ia bermimpi berada di tengah padang bunga. Ia menatap banyaknya bunga berwarna-warni yang bermekaran di sana, terlihat sangat indah. Ketika ia menatap ke arah depan, ia melihat seorang lelaki tengah berdiri membelakanginya. Ketika sosok lelaki itu berbalik, Nasya tertegun. Lelaki itu adalah Sagara. Nasya memandang Sagara yang tampak begitu tampan dalam balutan kemeja putih panjang dan celana putih selutut. Secara perlahan sudut bibir Sagara tertarik ke atas, mengulas senyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihnya, kemudian lelaki itu melambai ke arah Nasya masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
Tiba-tiba kedua mata Nasya terbuka lebar dengan napas memburu. Ia terbangun dari tidurnya, kemudian beranjak duduk dengan kening berkerut. Apa maksud dari mimpinya barusan? Mengapa terlihat sama dengan penglihatannya waktu itu?
Nasya menatap telapak tangannya yang mengeluarkan keringat dingin. Ini aneh, mimpi tadi seharusnya adalah mimpi yang bahagia karena ia bisa bertemu dengan Sagara, bukan mimpi yang membuatnya berkeringat dingin dengan napas memburu seolah baru saja bermimpi dikejar hantu.
Ada apa ini? Mengapa sekarang perasaannya tidak enak?***
Mau bilang makasih buat yang udah baca sampe sejauh ini. Bab depan ending😁
Salam sayang,
Ai
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...