Sagara menghentikan laju motornya ketika sampai di depan gerbang rumah Nasya. Lelaki itu menatap pacarnya yang tengah beranjak turun dari atas motor dilanjut melepas helm di kepalanya.
“Kak Gara mau mampir?” tawar Nasya dengan senyum mengembang. Gadis itu ingin sedikit menghibur Sagara agar lelaki itu tidak terus-menurus merasa sedih.
Tatapan Sagara berubah lekat, lelaki itu tidak pernah berhenti untuk mengagumi senyum Nasya. Tangannya terulur perlahan lantas mendarat di pipi Nasya, mengelus dengan lembut wajah pacarnya dengan ibu jarinya. Ia tak menjawab pertanyaan Nasya, hanya terus mengelus wajah gadis itu dengan sorot yang sama.
Nasya tertegun. “Lo nggak apa-apa, Kak?” tanyanya dengan raut cemas. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak. Sagara yang saat ini berdiri di hadapannya seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi memilih untuk tetap bungkam.
Sagara menggeleng, ia lantas menjauhkan tangannya dari wajah Nasya. “Gue balik dulu.”
“Hati-hati,” ucap Nasya sembari melambai. Gadis itu menatap kepergian Sagara dengan dahi berkerut.
Nasya berbalik lantas melangkah memasuki rumahnya. Begitu gadis itu menginjakkan kaki di dalam rumah, Arhan keluar dari kamarnya dan melangkah ke arahnya dengan raut penasaran. “Gimana tadi? Bokapnya Sagara nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Tapi … ”
“Tapi?”
“Gue khawatir sama Kak Gara.”
Alis Arhan terangkat. “Khawatir kenapa? Bukannya bokapnya masih baik-baik aja?”
Nasya beranjak duduk di atas sofa yang berada di ruang tamu diikuti oleh Arhan yang turut duduk di depannya. “Iya sih, tapi perasaan gue nggak enak.”
Kening Arhan berkerut. “Sekarang lo punya kemampuan baru? Bisa baca masa depan lewat perasaan?”
Nasya berdecak mendengar pertanyaan Arhan. “Bukan gitu. Tahu deh, susah jelasinnya.” Gadis itu terdiam sembari mengetuk-ngetuk jari ke atas meja. Tingkah Sagara hari ini membuatnya khawatir. Bagaimana tidak? Sagara tampak marah usai bertemu ayahnya, kemudian lelaki itu menangis dalam pelukannya saat di rooftop apartemen, dan tadi memperlakukannya dengan manis tanpa mengatakan apapun.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Nasya. Seandainya ia memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain, mungkin itu akan jauh lebih berguna saat ini daripada kemampuan melihat masa depan. Sebab, ia sangat ingin mengetahui seperti apa isi kepala Sagara, apa yang dipikirkan oleh lelaki itu, serta apa yang membuatnya merasa cemas, takut, dan marah.
“Na,” panggil Arhan ketika teringat sesuatu.
Nasya membuyarkan pikirannya, kemudian beralih menatap sang kakak. “Apa?”
“Lo beneran bisa ngontrol penglihatan lo? Bisa lihat saat kepingin lihat dan bisa nggak lihat saat nggak kepingin lihat?” Arhan teringat perkataan adiknya tempo hari yang mengatakan bahwa gadis itu berhasil mengontrol penglihatannya berkat bantuan dari Sagara.
“Ya. Lo nggak percaya?” tanya Nasya dengan alis terangkat. “Sini tangan lo, gue coba.”
Arhan mengulurkan tangannya dengan ragu. Melihat kakaknya yang tampak ragu, Nasya langsung menarik tangan Arhan dan menggenggamnya. Gadis itu terdiam selama beberapa detik dengan memandang sang kakak.
“Gue nggak lihat apa-apa,” ujar Nasya, kemudian melepaskan tangan Arhan.
“Serius?” kejut Arhan dengan mata membulat.
“Serius. Buat apa gue bohong?”
Arhan mengangguk-angguk. Benar juga, untuk apa adiknya berbohong? Tidak ada gunanya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...