Bab 44 - Sang Pelaku

12.7K 1.1K 1
                                    

Sagara melepas tautan bibirnya dengan bibir Nasya saat terasa pukulan pelan di dadanya dari gadis itu. Ia lantas mengelus bibir bawah Nasya dengan mata yang menyorot lekat. Bibir itu sudah berkali-kali ia cium, namun masih membuatnya ketagihan.

Setelah Sagara melepaskan tangannya dari wajah Nasya dan berhenti mengelus bibir gadis itu, Nasya langsung beranjak duduk di kursi dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ini memang bukan kali pertama ia berciuman dengan Sagara, namun entah mengapa selalu berhasil membuat jantungnya berdebar begitu kencang dan membuatnya berujung salah tingkah.

“Lo kenapa?” tanya Sagara saat melihat wajah Nasya yang berubah merah, gadis itu pun tidak menatap ke arahnya. Malah terkesan seperti menghindarinya.

Nasya menggeleng sebagai jawaban. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tiba-tiba terbayang gerakan bibir Sagara yang melumat bibirnya dengan lembut, bahkan masih terasa bibir tebal lelaki itu di bibirnya. Astaga, ia merasa wajahnya semakin panas saat ini.

“Lo—”

“Sebentar!” seru Nasya, memotong ucapan Sagara. Keahlian Sagara dalam menciumnya dan saat ini lelaki itu tidak terlihat gugup sama sekali membuatnya terpikirkan yang aneh-aneh. Ia pun kembali memandang Sagara dengan mata yang menyipit curiga. “Udah berapa cewek yang lo cium?”

“Maksud lo?”

Nasya memutar bola matanya. “Lo kelihatan udah ahli. Biasa nyium cewek sebelumnya?” tuduhnya. Pertanyaan yang ia lontarkan membuat dirinya sendiri merasa mendidih.

Sagara tampak tertegun mendapatkan pertanyaan tersebut. Setelahnya lelaki itu menyeringai tipis yang tak tertangkap oleh penglihatan Nasya.

“Dua.”

Kontan, mulut Nasya terbuka lebar. “Dua ya? Siapa aja?” tanyanya dengan raut wajah yang berubah keruh. Apakah yang pertama adalah mantan Sagara?

“Lo sama mendiang nyokap gue,” jawab Sagara. Melihat raut kaget di wajah Nasya saat ini membuatnya tersenyum miring. “Tapi kalau mendiang nyokap gue baru pernah gue cium di pipi atau dahi, kalau cium di bibir baru sama lo.”

Nasya berdehem dengan wajah yang semakin terasa panas. Tidak usah diperjelas seperti itu bisa bukan? Dasar Sagara!

“Sekarang giliran gue yang mau ngomong, Na,” tutur Sagara. Saat ini raut wajah lelaki itu berubah serius.

“Ngomong apa?”

Sagara menegakkan duduknya masih dengan memasang raut serius. “Penglihatan lo tentang gue yang dibunuh sama seseorang benar-benar kejadian.”

Kontan, bola mata Nasya membesar. “Jadi bener? Di dalam penglihatan gue, ada seseorang yang pakai baju hitam datang ke apartemen lo. Dia nyekik lo terus ngegantung lo di kamar. Lo ngalamin kejadian yang sama persis kayak gitu?”

Sagara mengangguk. “Sama. Tapi gue nggak terlalu ingat pelakunya kayak gimana, masalahnya apartemen gue dibuat gelap total. Mungkin lo ingat sesuatu dari penglihatan itu?”

Nasya terdiam dengan kening berkerut, gadis itu tengah berpikir keras sembari berusaha mengingat-ingat apakah ada sesuatu yang penting atau tidak dari sosok itu. Dalam penglihatannya pun sosok tersebut tidak begitu jelas dikarenakan gelapnya apartemen Sagara, wajah sosok itu pun tertutup masker. Namun, bisa ia pastikan bahwa sosok itu adalah laki-laki karena ia ingat kalau mendengar suara sang pelaku yang melaporkan hasil perbuatannya kepada seseorang. Tunggu. Itu dia, sang pelaku melapor kepada seseorang melalui telepon genggamnya. Kalau tidak salah ingat waktu itu sang pelaku berkata—

“Sagara! Kamu sudah sadar?”

Sosok Rendy yang berjalan tergesa mendekati ranjang Sagara membuat pikiran Nasya buyar. Gadis itu beralih menatap Rendy yang kini sudah berada tepat di samping ranjang Sagara, berdiri menjulang di dekatnya.

“Bagaimana keadaan kamu? Apakah ada yang sakit?” tanya Rendy sembari memeriksa leher dan tubuh Sagara.

“Gara nggak apa-apa, Pak,” sahut Sagara dengan mengulas senyum agar Rendy tidak terlampau khawatir. “Ngomong-ngomong, Pak Rendy dari mana?”

Mendengar Sagara sudah baik-baik saja membuat Rendy menghembuskan napas lega. Dikarenakan Sagara adalah tanggung jawabnya sekarang, maka Rendy tidak bisa untuk tidak khawatir terhadap apapun yang terjadi kepada lelaki itu.

“Saya baru saja selesai memeriksa kamera CCTV di apartemen, ternyata ada sosok yang memasuki apartemen kamu.” Rendy kemudian beralih menatap Nasya. “Sepertinya dugaan kamu benar kalau ada yang berniat membunuh Sagara.”

“Emang benar,” sela Sagara.

Rendy menatap Sagara dengan sorot kaget. “Jadi kamu memang tidak sedang melakukan percobaan bunuh diri?”

Sagara berdecak. Entah mengapa ia merasa kesal ditanya seperti itu. “Enggak. Sewaktu Gara sampai, ada orang yang masuk ke apartemen dan langsung ngehajar terus nyekik leher Gara. Kelanjutannya Pak Rendy udah tahu.”

Seketika rahang Rendy mengetat. “Kurang ajar! Siapa yang berani berbuat seperti itu ke kamu?”

Sagara menggeleng pelan. Ia pun tidak tahu siapa pelakunya.

“Apakah kamu tidak mengingat apapun dari pelakunya? Mungkin postur tubuhnya? Wajah pelakunya? Atau suaranya?” berondong Rendy dengan pertanyaan.

Sagara kembali menggeleng. Lelaki itu kini beralih menatap Nasya, kemudian mengangkat kedua alisnya, memberikan kode kepada gadis itu untuk berbicara.

Nasya mengerjap pelan. Ia lantas menatap Rendy dan beralih menatap Sagara. “Sebenarnya gue ingat sesuatu, Kak."

“Apa yang lo ingat?”

“Suara dan apa yang pelaku omongin.” Nasya terdiam sejenak. “Dari suaranya, jelas dia laki-laki. Setelah dia berhasil ngegantung lo di kamar, dia nelepon seseorang. Kalau nggak salah, dia ngomong kayak gini, ‘semua sudah beres, Nyonya, sesuai perinta anda’.”

Kening Sagara berkerut dalam mendengar kalimat terakhir yang diucapakan oleh Nasya. “Itu artinya dia orang suruhan,” simpulnya.

Di saat Sagara dan Nasya tengah berpikir dengan raut serius, Rendy justru terdiam bingung. Pria itu tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua remaja itu. Lagi pula, bagaimana bisa Nasya mengetahui kejadiannya bahkan mendengar percakapan sang pelaku padahal gadis itu tidak berada di sana saat kejadian berlangsung bukan?

“Nasya, saya tidak mengerti,” ujar Rendy.

Nasya menoleh ke arah Rendy saat itu juga. Ia lupa kalau ada Rendy yang tidak tahu apapun mengenai kemampuannya. Bagaimana ia harus menjelaskan semua ini?

Nasya memandang Rendy dengan ragu. “Uhm … itu, Pak—"

“Bagaimana bisa kamu tahu apa yang dikatakan oleh sang pelaku? Memangnya kamu berada di sana saat kejadian berlangsung? Tapi itu tidak mungkin, jelas-jelas saya melihat hanya ada Sagara di sana dan melalui kamera CCTV saya melihat kalau yang keluar dari apartemen Sagara hanyalah sang pelaku,” heran Rendy.
Nasya menggigit bibirnya, ia mulai dilanda kebingungan. Gadis itu beralih menatap Sagara dan mengode melalui tatapan mata kepada lelaki itu untuk meminta bantuan, tetapi Sagara malah tengah terdiam dengan kening berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu. 

“Sebenarnya saya tahu semuanya, Pak, secara detail,” ucap Nasya, tampak ragu sesaat.

Kedua alis Rendy terangkat. “Sungguh? Bagaimana bisa?”

“Saya sebenarnya ... ”

“Sebenarnya?” sahut Rendy dengan tak sabar.

Bola mata Nasya mulai bergerak gelisah. “Sebenarnya saya punya suatu kemampuan aneh, Pak. Kemampuan itu ngebuat saya bisa ngelihat—”

“Pak Rendy,” ujar Sagara tiba-tiba, memotong ucapan Nasya.

Rendy yang tengah fokus menanti perkataan Nasya kini beralih menatap Sagara. Pria itu dapat melihat pancaran sorot serius dari kedua mata Sagara.

Sagara mengepalkan tangannya untuk menahan geram. Bola matanya berkilat marah saat ini. “Gara tahu pelakunya.”

“Sungguh? Siapa itu?”

“Itu ibu. Pasti ibu tiri Gara pelakunya.”

***

Salam sayang,
Ai

His Future (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang