Bab 7 - Sang Penolong

23.6K 1.9K 13
                                    

Halo halo hai hai hai~

***

Nasya menatap layar laptop yang menampilkan drama tentang pembunuhan berantai. Mata gadis itu memang tampak fokus menonton, namun pikirannya melayang ke hal lain. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuh bibirnya sendiri.

Ingatan beberapa jam yang lalu kembali berputar di kepala Nasya. Gadis itu sungguh menyesal, seharusnya ia mendorong Sagara bukannya malah diam saja saat dicium. Parahnya, bahkan otaknya saat itu blank. Saking blank-nya sampai tidak bisa melihat masa depan Sagara saat bibir mereka bersentuhan. Itu adalah pertama kalinya Nasya tidak bisa melihat masa depan orang lain.

“Cowok kampret!” umpat Nasya sembari menendang bantal hingga terjatuh dari atas kasur.

Mulai detik ini Nasya bertekad kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi dekat-dekat dengan Sagara. Bodo amat lelaki itu mau mati atau tidak, bukan urusan Nasya lagi. Seharusnya dari awal ia menuruti perkataan Arhan dan Mutiara yang melarangnya untuk dekat-dekat dengan Sagara. Nasya menyesal sekarang. Ya, penyesalan memang selalu datang di akhir, bahkan ia sudah kecolongan di bibir.

Meskipun Nasya amat kesal dengan kelakukan Sagara, namun gadis itu akan berusaha menutupinya. Bisa gawat kalau sampai kakaknya tahu apa yang Sagara lakukan kepadanya. Arhan pasti akan mengamuk dan Sagara tidak akan baik-baik saja setelahnya.

“Nasya! Keluar! Makan malam!” seru Mama dari balik pintu kamar.

“Iya!” sahut Nasya.

Beranjak dari kasur lalu menuju meja rias. Nasya meraih ikat rambut yang ada di sana lalu menguncir rambut panjangnya. Ia menatap dirinya sendiri di kaca, tiba-tiba pandangan matanya menurun ke arah bibirnya. Oh, tidak, mengapa ia tidak bisa melupakan kejadian menyebalkan itu? Bahkan tekstur lembut dari bibir Sagara masih dapat ia rasakan. Otaknya mulai tidak waras!

Menggelengkan kepala untuk membuyarkan isi pikirannya, Nasya lantas melangkah keluar kamar. Gadis itu membuka pintu kamar lalu menutupnya lagi, sudah menjadi kebiasaan. Ia turun ke lantai satu tempat di mana meja makan berada. Sampai di sana, ia melihat Arhan, Mama, dan Papanya tengah menunggunya untuk makan bersama.

Diam-diam Nasya melirik ke arah sang kakak. Gadis itu menarik kursi di sebelah Arhan—karena hanya tersisa kursi itu—lalu mulai mengambil nasi diikuti oleh anggota keluarganya yang lain.

Suasana makan malam kali ini benar-benar sunyi, hanya terdengar suara dari dentingan sendok yang bertemu piring. Padahal, biasanya Nasya dan Arhan selalu membuat keributan. Namun, kali ini Arhan diam saja, bahkan lelaki itu tidak melirik Nasya sedikit pun.

Nasya menoleh ke samping, menatap kakaknya yang fokus menyantap makanan. Diamnya Arhan membuat Nasya berasumsi kalau lelaki itu pasti syok dengan perkataan Nasya, atau mungkin marah padanya. Ia sungguh merasa bersalah sekarang, seharusnya ia tidak membertahukan hal itu kepada kakaknya, pasti ucapan Nasya telah melunturkan semangat Arhan.

“Bang,” panggil Nasya. Tangan gadis itu terulur hendak menyentuh tangan Arhan.

“Jangan sentuh,” ucap Arhan tegas.

Nasya menghela napas. “Lo marah sama gue? Maaf, Bang,” tuturnya lirih.

Arhan tak mejawab pertanyaan Nasya, lelaki itu memilih menyelesaikan makan malamnya lalu buru-buru beranjak dari tempat duduk. Ia meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun.

His Future (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang