Nasya dan Arhan berlarian di lorong rumah sakit. Kedua remaja itu berhenti tepat di depan sebuah ruang rawat inap. Tanpa membuang waktu, mereka membuka pintu lantas melangkah masuk.
“Kak Gara!” teriak Nasya sambil berlarian mendekati ranjang.
“Sagara belum sadarkan diri.”
Suara dari seseorang membuat Nasya menoleh ke samping. Gadis itu baru menyadari kehadiran Rendy, asisten pribadi Ayah Sagara yang sekarang akan mengurus Sagara.
“Pak Rendy di sini?” tanya Nasya dengan raut bingung.
“Tentu saja. Saya yang tadi menghubungi kamu, tetapi yang mengangkat malah kakak kamu,” tunjuk Rendy ke arah Arhan. Pria itu dapat menebak kalau sosok yang datang bersama Nasya pastilah kakak gadis itu.
Saking paniknya mendengar kabar bahwa Sagara masuk rumah sakit, Nasya sampai lupa tidak menanyakan kepada kakaknya dari mana lelaki itu tahu tentang kabar tersebut. Ia juga baru ingat kalau ponselnya tertinggal di meja kantin saat ia dibawa ke ruang BK.
Nasya menetralkan napasnya yang sempat tak beraturan akibat berlarian di lorong rumah sakit. Gadis itu kembali menatap Rendy. “Kenapa Kak Gara bisa masuk rumah sakit, Pak? Dia sakit?” tebak Nasya.
Rendy menggeleng. Pria itu beralih menatap Sagara yang terbaring lemah di atas ranjang. Sorot matanya berubah sendu. “Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Sagara. Tapi sepertinya dia berniat bunuh diri.”
“Ya?” Nasya sontak terbelalak. Pantas saja kemarin perasaannya tidak enak, jadi karena ini?
“Tadi saya mengunjungi apartemen Sagara untuk memberikan beberapa dokumen terkait warisan. Namun, saat saya sampai di sana Sagara tidak kunjung membukakan pintu. Saya sempat panik dan meminta petugas apartemen untuk membukakan pintu. Ketika saya masuk, saya sudah mendapati Sagara berada di kamar dengan keadaan tidak sadarkan diri dan botol obat yang tergeletak di lantai, ada beberapa sisa pil di sana,” jelas Rendy masih dengan memandang Sagara.
Seketika tubuh Nasya terasa lemas. Gadis itu nyaris terjatuh ke lantai kalau saja Arhan tidak menopang tubuhnya dengan segera.
“Kalau saja saya terlambat sedikit, dokter berkata Sagara bisa saja mati.”
Nasya sudah benar-benar tidak sanggup untuk berdiri, gadis itu menopang tubuhnya pada Arhan. Ia tidak pernah menyangka kalau penglihatannya tentang Sagara yang bunuh diri dengan menelan banyak pil benar-benar terjadi. Selama ini ia santai-santai saja karena dalam penglihatannya, saat itu Sagara tengah memegang fotonya, namun lelaki itu belum mempunyai fotonya. Selain itu, ia sudah memberi tahu Sagara tentang penglihatannya itu, bagaimana bisa Sagara tetap melakukan hal tersebut? Bagaimana bisa Sagara tetap mengakhiri hidupnya dengan meminum pil sesuai dengan penglihatan Nasya?
Pikir Nasya jika memberi tahu Sagara semua tentang penglihatannya, maka lelaki itu tidak akan bertindak gegabah dan melakukan sesuatu seperti yang Nasya lihat di masa depan. Namun, nyatanya Sagara tetap melakukannya. Di satu sisi Nasya ingin bersedih, tetapi di sisi lain gadis itu juga ingin memarahi Sagara.
“Nasya,” panggil Arhan dengan lembut. Sejak tadi lelaki itu ingin menenangkan adiknya, namun ia takut salah berbicara.
“Pak Rendy, sekarang Kak Gara baik-baik aja kan?” tanya Nasya sembari berusaha menegakkan tubuhnya.
Rendy mengangguk. “Semoga baik-baik saja. Tadi dokter sudah melakukan operasi dan membedah lambungnya, obat yang dia telan sudah berhasil diambil.”
Tubuh Nasya kembali terasa lemas. Dioperasi? Lambungnya dibedah? Astaga. Sungguh, saat ini Nasya merasa begitu bersalah. Ia sudah tahu kejadian tersebut—Sagara yang bunuh diri dengan meminum pil—akan terjadi di masa depan, tetapi ia malah lengah hanya karena sudah memberi tahu Sagara semuanya. Ia pikir, masa depan akan berubah ketika ia memberi tahu orang yang terkait, tetapi sepertinya tidak. Apakah ada permainan takdir Tuhan di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...