Bab 37 - Pembunuh

12.4K 1.1K 2
                                    

Happy reading! Vomment-nya ditunggu💋

***

Sagara terdiam selama beberapa detik, kemudian tawa menyembur dari mulut lelaki itu. “Pak Rendy bercanda? Nggak lucu.”

Rendy menggeleng dengan raut serius. “Saya nggak bercanda, Gara. Tadi saya mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit. Sebaiknya sekarang kita—”

Tanpa menunggu kelanjutan ucapan Rendy, Sagara sudah lebih dulu berlari memasuki lift dengan Nasya yang mengekori lelaki itu. Di dalam lift, ia terdiam dengan berusaha menetralkan napasnya yang sempat memburu usai berlari. Begitu lift terbuka, ia kembali berlari menuju basement lalu menghampiri motornya.

Nasya mengikori Sagara dengan raut panik. Ketika Sagara hendak melajukan motor seolah terlupa dengan keberadaannya, ia langsung mencegat. “Tunggu, Kak. Gue ikut,” ujarnya, kemudian buru-buru menaiki motor Sagara.

Motor yang dikendarai oleh Sagara membaur di jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata. Nasya yang membonceng hanya mampu mengeratkan pelukannya pada pinggang Sagara. Ia ingin meminta lelaki itu untuk mengurangi kecepatan laju kendaraannya, namun ketika teringat dengan kabar meninggalnya ayah lelaki itu dan betapa terkejutnya Sagara membuatnya urung.

Sampai di parkiran rumah sakit, Sagara bergegas turun dari motor tanpa berucap apapun kepada Nasya apalagi menatapnya. Lelaki itu langsung berlari memasuki area rumah sakit.

Nasya mengikuti Sagara yang kini berlarian di lorong rumah sakit. Sejujurnya ia dibuat khawatir dengan Sagara yang tampak tenang. Sagara memang tergesa saat menuju rumah sakit, namun  lelaki itu terus terdiam, baik saat di lift apartemen hingga dalam perjalan menuju rumah sakit, Sagara tidak menangis dan tidak berucap apapun. Ia hanya menangkap wajah datar dan tatapan mata yang berubah kosong dari Sagara.

Tiba di ruang rawat inap ayahnya, Sagara langsung menerobos masuk diikuti oleh Nasya. Namun, langkah Nasya seketika terhenti. Nasya mematung di tempat. Gadis itu mengamati seisi ruangan dengan sorot tak percaya. Bagaimana bisa keadaannya berbeda dengan penglihatannya?

Dalam masa depan yang Nasya lihat, keadaan saat Ayah Sagara meninggal tidaklah seperti ini. Tunggu, apakah penglihatannya bisa berubah? Apakah seperti ini yang terjadi jika Nasya memberi tahu perihal penglihatannya tentang masa depan seseorang kepada orang tersebut? Tetapi, jika diingat-ingat lagi, dulu yang terjadi kepada Arhan tidak seperti ini. Saat Nasya melihat masa depan Arhan ketika lelaki itu diputuskan oleh pacarnya, maka di masa depan saat hal itu terjadi keadaannya persis seperti dalam penglihatan Nasya. Namun, mengapa dalam kasus Ayah Sagara bisa berbeda?

Kepala Nasya menggeleng dengan cepat. Bukan saatnya ia memikirkan hal itu sekarang. Dengan tergesa ia melangkah mendekat ke arah Sagara yang saat ini tengah berdiri di sebelah jenazah ayahnya.

“Kak,” panggil Nasya sembari menyentuh pundak Sagara.

Panggilan dari Nasya tidak dipedulikan oleh Sagara. Lelaki itu memandang lurus ke arah jenazah ayahnya masih dengan tatapan kosong seperti tadi. 

“Ayah,” panggil Sagara setelah terdiam cukup lama. Dengan tangan gemetar, lelaki itu menurunkan kain yang sudah menutupi wajah ayahnya. “Yah, bangun.”

Nasya yang melihat hal tersebut langsung mengalihkan pandangannya dari Sagara. Ia mengigit bibirnya untuk menghalau rasa sesak di dada. Jangan sampai ia menangis di sini dan membuat Sagara sedih, karena lelaki itu pun tidak menangis dan seperti tengah berusaha menahan tangis.

Langkah kaki seseorang membuat Nasya beralih menatap pintu ruangan. Terlihat Rendy yang baru tiba berjalan mendekat ke arah Sagara. Pria itu terdiam dengan gurat kesedihan yang terlukis di wajahnya. Rendy lantas beralih menatap Sagara.

"Sagara, kamu tidak apa-apa?”

Sagara masih tidak merespon, panggilan dari Nasya ataupun pertanyaan dari Rendy seolah tak didengar olehnya. Namun, di detik selanjutnya timbul perubahan emosi dari lelaki itu bersamaan dengan suara langkah kaki dua orang yang memasuki ruangan.

“Sayang!” seru ibu tiri Sagara yang datang secara tiba-tiba. Wanita itu berlari menuju jenazah suaminya lantas memeluknya. Tangisnya mulai terdengar memenuhi ruangan, entah tangisan tulus atau tangisan palsu.

“Ayah!” teriak Nendra, kakak tiri Sagara itu juga menghampiri jenazah ayahnya. Namun, sebelum lelaki itu mendekat, Sagara lebih dulu menghalangi langkahnya.

Sagara menghadang Nendra, berdiri menjulang tepat di hadapan kakak tirinya. Ia menatap Nendra dengan sorot mata yang berubah tajam, tangannya terkepal kuat, dan rahangnya mengetat. Terlihat jelas kalau ia tengah menahan emosinya.

“Apa lo? Minggir,” ujar Nendra.

Sagara bergeming. Sorot mata lelaki itu kini memancarkan kilat amarah.

“Jangan cari masalah sama gue hari ini. Lo nggak nyadar kalau Bokap—”

Bugh!

Satu pukulan mendarat dengan mulus di wajah Nendra diiringi oleh pekikan kaget dari orang-orang yang berada di ruangan itu.

Nendra tersungkur ke lantai sembari memegangi wajahnya. “Lo!” tunjuknya ke arah Sagara.

Sagara menarik kerah Nendra, memaksa lelaki itu untuk berdiri. “Jangan sebut Ayah pakai mulut kotor lo itu!” geramnya. Di detik selanjutnya satu pukulan kembali dihadiahkan oleh Sagara kepada kakak tirinya.

“Sagara! Hentikan!” teriak ibu tiri Sagara. Wanita itu menghampiri Nendra dengan langkah tergesa setelah menyelesaikan aksi tangisnya.

Nasya yang melihat kekacauan tersebut hanya mampu terdiam dengan raut bingung sekaligus panik. Ia kini menatap ke arah seorang wanita yang tengah membantu berdiri seorang lelaki yang tadi dijotos oleh Sagara. Siapa kedua orang itu?

“Pak, mereka siapa?” bisik Nasya kepada Rendy yang berada di sebelahnya.

Rendy menoleh ke arah Nasya. “Ibu tiri Sagara dan kakak tirinya.”

“Kakak tiri?! Jadi, dia yang katanya ngeracun—” ucapan Nasya langsung terhenti ketika menyadari seluruh pasang mata beralih menatapnya. Ia menelan ludah dan langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mengapa dirinya harus berbicara dengan intonasi tinggi di situasi seperti ini? Astaga, mulutnya.

Suara langkah kaki terdengar dari Sagara yang kembali mendekat ke arah Nendra. “Kenapa lo ngelakuin itu?” tanyanya dengan intonasi bicara yang terdengar tenang, namun raut wajah lelaki itu tampak menakutkan. Raut datar dan sorot tajamnya seolah mampu membunuh siapa saja.

“Apa maksud lo?” sahut Nendra dengan menahan geram. Kalau saja tidak ada orang lain di ruangan ini, sudah ia hajar Sagara habis-habisan.

“LO BUNUH AYAH!” seru Sagara dengan amarah yang muncul kembali.

Nendra terbelalak kaget. Namun, tak berselang lama ia mengeluarkan seringaian di wajahnya. “Lo punya bukti?”

Sagara meremas tangannya. Ia terdiam, tak sanggup menjawab.

Nendra mendengkus. Lelaki itu maju selangkah, kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Sagara. “Diam dan tutup mulut lo. Jangan ngomong macam-macam kalau nggak mau kenapa-napa, Adik Kecil.” Setelah berhasil memberikan peringatan kepada Sagara, Nendra beranjak menghampiri ibunya. “Kita pergi sekarang, Bu. Sudahi dramanya di sini aja.”

Ibu tiri Sagara mengangguk. Wajah sedihnya menghilang dan berganti dengan raut datar. Wanita itu mengelap sisa air matanya lantas mengikuti anaknya keluar ruangan. Sebelum itu, ia sempat menghadiahi tatapan tajam ke arah Sagara selama beberapa detik.

Selepas kepergian dua orang itu, secara perlahan tubuh Sagara merosot ke lantai. Lelaki itu jatuh terduduk dengan bahu yang mulai bergetar. Beberapa detik kemudian suara tangis terdengar.

Nasya yang melihat hal itu bergegas menghampiri Sagara lantas meraih tubuh lelaki itu ke dalam pelukannya. Ia memilih untuk tak berkata apapun, mengeratkan pelukannya setiap tangis Sagara bertambah kencang, terdengar pilu dan menyayat hati.

***

😢😢😢

Salam sayang,
Ai😢

His Future (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang