Nasya menyeruput kuah soto di tangannya. Walaupun gadis berambut panjang itu tampak menikmati soto yang tengah ia makan, namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia tidak dapat berhenti memikirkan Sagara, apalagi hari ini lelaki itu tidak terlihat di kantin. Apakah Sagara masih di kelas?
“Lemas banget lo. Ada apaan?” tanya Mutiara yang selalu peka dengan sikap Nasya.
Nasya mendongak untuk menatap Mutiara. “Gue nggak bisa berhenti mikirin seseorang.”
Perkataan Nasya membuat Mutiara terbelalak. “Lo lagi suka sama seseorang? Siapa?”
“Bukan suka, cuma kepikiran terus,” sangkal Nasya.
“Kalau lo kepikiran orang itu terus-terusan bisa jadi lo suka sama dia, apalagi kalau sampai kebawa mimpi dan ngasih pengaruh di kehidupan sehari-hari lo,” terang Mutiara seperti pakar cinta.
Nasya mengerjap. “Oh, ya?”
Mutiara mengangguk mantap. “Iya lah. Siapa orangnya? Kasih tahu gue.”
Nasya terdiam memikirkan ucapan Mutiara sebelumnya. Apakah dirinya menyukai Sagara? Sepertinya tidak. Ia hanya khawatir, itu saja.
“Ih! Jangan pelit, Na! Kasih tahu gue!” tuntut Mutiara ketika melihat Nasya hanya diam saja.
Baru saja Nasya membuka mulutnya, pandangan gadis itu tertuju kepada Arhan yang tengah berjalan ke arahnya dengan raut serius bercampur sorot cemas. “Lo kenapa, Bang?” tanyanya begitu Arhan sampai di sebelahnya.
Arhan melirik ke arah Mutiara sejenak lantas menatap sang adik. “Ikut gue sebentar.”
Dengan kening berkerut Nasya mengangguk lantas beranjak dari duduk, ia mengikuti sang kakak yang berjalan menjauh dari area kantin. Mereka berhenti melangkah di area dekat perpustakaan yang cukup sepi.
“Lo mau ngomong apa sampai bawa gue ke sini?” heran Nasya.
“Gue mau ngomong soal Sagara. Nggak mungkin gue ngomong di dekat temen lo kan?” Teman yang dimaksud oleh Arhan adalah Mutiara. Arhan tahu kalau Mutiara adalah teman Nasya yang suka bergosip, ia tidak mau mengambil risiko kalau nanti Mutiara menyebar gosip tentang apa yang hendak ia sampaikan.
“Jadi?” Nasya bertanya dengan tak sabar, gadis itu tampak penasaran.
“Sagara nggak masuk sekolah dan nggak bisa dihubungi.”
Satu kalimat yang diucapkan oleh Arhan sukses membuat Nasya mematung di tempat. Perasaan khawatirnya terhadap Sagara semakin bertambah.
“Penglihatan lo nggak mungkin terjadi tadi malam kan?” Arhan bertanya dengan ragu. Tentu ia tidak ingin apa yang diucapkannya terjadi.
Nasya tampak panik ketika teringat dengan mimpinya, gadis itu menggigit bibirnya dan meremas kedua tangannya. “Gue nggak tahu kalau penglihatan gue tentang masa depan seseorang bakal terjadi kapan. Bisa aja beberapa jam setelahnya, bahkan bisa juga bertahun-tahun kemudian.” Ia menelan ludah ketika menyadari kalau bisa saja penglihatannya tentang kematian Sagara terjadi tadi malam. “Terus gimana, Bang? Kalau Kak Sagara—”
“Kita jenguk dia pas pulang sekolah,” potong Arhan saat melihat kekhawatiran sang adik. “Sekarang lo tenang dulu, jangan mikir yang enggak-enggak.”
***
Nasya membonceng motor yang dikemudikan oleh kakaknya sembari memberitahukan alamat Sagara. “Dia tinggal di apartemen dekat rumah kita,” ujar Nasya dari balik kaca helm.
“Oke. Pegangan, gue ngebut.”
Berkat Arhan yang mengemudikan motornya dengan cepat, mereka dapat sampai di basement apartemen Sagara dengan cepat pula. Kedua remaja itu turun dari atas motor lantas melepas helm, berjalan menuju lift. Sampai di dalam lift, Nasya memencet tombol angka lima tanpa ragu. Tindakannya menimbulkan keheranan bagi Arhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Fiksi Remaja"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...