Suasana kantin mendadak ramai oleh bisik-bisik para siswa. Baru kali ini ada yang berani mendekati Sagara. Selama ini baik siswa laki-laki maupun perempuan tidak ada yang berani mendekati Sagara dan tidak ada yang menyukai kehadiran lelaki itu, jadilah Sagara selalu sendirian.
“Kak, jawab pertanyaan gue, jangan diam aja,” ujar Nasya dengan berani. Entah mengapa dirinya bisa seberani ini.
Sagara masih bungkam, lelaki itu hanya memandang Nasya dengan sorot tajam dan raut datarnya. Ditatap terus menerus oleh Sagara membuat Nasya tiba-tiba diserang perasaan gugup.
Nasya berdehem. “Gue cuma mau minta maaf. Seenggaknya balas pesan gue, Kak. Jangan malah blokir nomor gue.”
“Itu hak gue,” sahut Sagara setelah terdiam cukup lama.
Suara yang berat nan dalam milik Sagara membuat Nasya yang baru mendengarnya menahan napas sesaat. “Maksudnya?”
“Emang lo siapa? Terserah gue mau blokir nomor orang asing atau enggak.”
Ucapan Sagara menampar Nasya dengan keras. Gadis itu menggigit bibirnya, merasa agak malu. Sagara ada benarnya juga, tidak seharusnya Nasya protes karena memang hak lelaki itu mau memblokir nomornya atau tidak.
Nasya terdiam, gadis itu tengah memutar otaknya. Bagaimana cara untuk mendekati Sagara? Ia hanya ingin membantu lelaki itu dan memberitahukan perihal masa depan yang ia lihat. Namun, sepertinya tidak mudah untuk mendekati Sagara.
Mulut Nasya terbuka hendak berucap sesuatu, namun tiba-tiba tangannya ditarik kasar. Nasya terbelalak ketika melihat Arhan tengah menarik tangannya dan membawanya keluar area kantin.
“Bang, lepas! Sakit!” protes Nasya.
Cengkeraman tangan Arhan pada pergelangan tangannya terlalu kuat. Belum lagi gadis itu kembali mendapat penglihatan masa depan, sebab tangan Arhan menyentuh kulit tangannya.
Setelah melangkah cukup jauh dari kantin, Arhan melepaskan cengkeraman tangannya pada Nasya. Lelaki itu berbalik, menatap sang adik dengan sorot tajam. “Lo … udah gue kasih tahu, jangan dekat-dekat sama Sagara!”
Nasya terkesiap kaget mendengar intonasi bicara kakaknya yang tinggi. “Terserah gue dong! Lo nggak usah ikut campur!” balas Nasya dengan intonasi bicara yang tak kalah tinggi.
Arhan meraih bahu adiknya dan mencengkeramnya kuat. “Gue peduli sama lo, Na, makanya gue ikut campur. Nurut sama gue kali ini ya?” tuturnya dengan lembut.
“Kenapa gue harus nurut sama orang yang nggak percaya sama gue? Lo Abang gue, tapi pernah ngatain gue gila.” Nasya tiba-tiba teringat kejadian tahun lalu, saat kakaknya putus dengan sang pacar dan menyalahkan Nasya. Tiba-tiba saja kedua mata Nasya memanas, ia memandang sang kakak dengan sorot kecewa.
“Sorry, Na. Lo tahu sendiri waktu itu gue kebawa emosi.”
Nasya berdecih. Ia lantas mendongak untuk menatap sang kakak dengan sengit. “Lo nggak percaya sama gue,” ulangnya.
Arhan menelan ludah melihat raut serius adiknya. “Gue percaya. Sekarang gue percaya sama lo.”
“Oh ya? Kalau gue bilang barusan gue lihat masa depan lo, di situ gue lihat lo nangis karena nggak lolos seleksi masuk perguruan tinggi dan berakhir nganggur. Gimana? Lo percaya?” Nasya sebenarnya tidak tega untuk memberitahu hal ini, namun faktanya ia memang melihat hal itu beberapa kali dari masa depan sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Teen Fiction"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...