Proses pemakaman Ayah Sagara telah usai sekitar satu jam yang lalu, satu per satu pelayat pun berpamitan untuk pulang. Saat ini di pemakaman tersebut hanya tersisa Sagara, Nasya, Arhan, dan Rendy. Empat orang itu terdiam di depan makam, fokus mereka tertuju kepada Sagara yang belum juga membuka suara sejak tiba di pemakaman.
Terdengar suara dari dering ponsel yang memecah keheningan. Nasya dan Arhan beralih menatap Rendy yang tengah mengangkat panggilan. Tak berselang lama, Rendy menutup teleponnya dan mendekat ke arah Sagara.
“Sagara, saya harus pergi, ada yang mau saya urus. Kamu mau ikut bersama saya atau tetap di sini?” tanya Rendy.
Sagara bungkam, tatapan matanya yang kosong masih tertuju kepada gundukan tanah di depannya.
Tak mendapatkan jawaban dari Sagara, Rendy pun menyentuh pundak lelaki itu. “Sagara,” panggilnya lembut.
Sagara terdiam selama beberapa detik, kemudian lelaki itu menggeleng pelan.
Dengan asumsi bahwa Sagara tidak ingin ikut bersamanya, Rendy memilih untuk melangkah pergi usai berpamitan sejenak kepada Nasya dan Arhan. “Saya titip Sagara,” ujarnya yang dibalas anggukan oleh kedua kakak-beradik itu.
Selepas kepergian Rendy, suasana kembali hening. Tak tahan dengan keheningan ini, Arhan mencolek bahu Nasya hingga membuat sang adik yang tengah mengamati Sagara beralih menatapnya.
“Kenapa?” sahut Nasya dengan suara lirih.
Arhan melirik ke arah Sagara lantas kembali menatap Nasya. “Lo nggak coba ngomong sesuatu sama Sagara? Dia diam aja dari tadi,” bisik Arhan.
Sebenarnya Arhan cukup khawatir terhadap Sagara. Ia ingin berbicara kepada Sagara untuk sekadar memberikan kata-kata penyemangat atau menghibur lelaki itu, tetapi sepertinya Sagara sangat betah dengan keheningannya.
Nasya menggeleng, ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Arhan. Pandangannya kembali tertuju kepada Sagara yang masih terdiam menatap makam ayahnya. Bukannya ia tidak mengkhawatirkan Sagara, tentu saja ia sangat khawatir kepada lelaki itu. Namun, sepertinya Sagara tengah membutuhkan waktu sendiri dan tidak ingin dihibur lewat kata-kata. Menurutnya cukup berada di samping Sagara sudah termasuk menyemangati lelaki itu.
Berbeda dengan Nasya yang tampak tenang menunggu Sagara, Arhan terlihat gelisah. Lelaki itu berulang kali mengecek jam tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan Arhan harus segera kembali karena sudah ada janji akan mengantar Mamanya pergi ke suatu tempat.
“Na,” panggil Arhan kepada sang adik.
“Hm?”
“Gue harus balik, gimana?”
Nasya menoleh ke arah Arhan. “Mau ke mana?”
“Gue disuruh ngantar Mama.”
“Ya udah lo balik aja, gue yang nungguin Kak Gara di sini.”
Arhan tampak ragu sesaat. “Nggak apa-apa gue tinggal?”
“Nggak apa-apa.”
Arhan mengangguk. Ia menepuk pundak sang adik, kemudian melangkah mendekat ke arah Sagara.
"Ra, gue pamit balik, lagi ditunggu nyokap.”
Tanpa menatap Arhan, Sagara mengangguk singkat sebagai jawaban.
Tinggallah Nasya dan Sagara di pemakaman tersebut. Keheningan kembali menyelimuti. Sagara masih terfokus kepada gundukan tanah di depannya, sedangkan Nasya tak melepas pandangannya dari Sagara.
Angin yang berhembus kencang secara tiba-tiba membuat Nasya mengeratkan jaket yang tengah ia kenakan. Ia beranjak mendekat ke arah Sagara, berdiri tepat di sebelah lelaki itu. Ia menoleh ke samping lantas mendongak untuk melihat rupa Sagara saat ini. Ternyata masih sama, raut datar tanpa ekspresi dan tatapan mata yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Future (TAMAT)
Roman pour Adolescents"Jauh-jauh dari gue, atau gue bakal cium lo sekarang." Kalimat itulah yang dilontarkan oleh Sagara kepada Nasya--adik kelas yang tiba-tiba mendekatinya. * Masa depan. Hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia, tidak dapat ditebak, dan tidak dapat...