"Itu tidak benar kan, Irene?" Bantah Taehyung tak percaya.
"Percayalah, kasus pembunuhan berantai ada hubungan-nya dengan adik mu!" Irene, merasa benar yakin. Jika ia melihat keanehan terhadap Jisoo, saat kali pertama bertemu.
"Apa motif di balik semua ini?" tanya Taehyung yang di balas gelengan pelan Irene.
Yah, Irene tidak tahu pasti. Namun ia yakin, gadis yang menjadi korban pembunuhan, sebelum-nya pernah dekat dengan Taehyung. Apalagi keberadaannya di rumah ini seolah menantang maut.
Irene selalu merasa ada mata yang mengintai-nya di balik kejauhan. Ada banyangan mengikuti tanpa dia sadari, setiap gerak-geriknya seolah di awasi. Membuat Irene merasa takut dan ingin segera kembali ke rumahnya.
"Ceritakan pada ku?!"
"Apa?"
"Cerita kan pada ku, Bagaimana masa lalu Jisoo, jauh sebelum dia datang kemari!" tuntutnya, tak sabar.
"Taehyung?!"
Suara Jimin membunyarkan lamunan Taehyung, perasaanya saat ini sangat tidak enak. "Wae, Jimin-ah?" tanyanya.
"Aniya, ghawenchana? Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Ak-ku sedang--"
Dddrtttt
Ponsel di saku celana Taehyung bergertar "Jjangkkaman" di raihnya benda pipi tersebut, lalu menempelkan pada telinganya.
"Yeoboseo"
(Yakk, Taehyung-ie. Apa kau tahu dimana keberadaan Irene sekarang?"
"Mwo? Bukannya, dia ada di rumah ku?"
(Aniya, disini tidak ada orang. Aku berusaha menghubungi Irene, tapi ponselnya tidak aktif)
"Tunggu, aku di sana. Aku akan segera pulang" Taehyung memutuskan sambungan telfon secara sepihak.
"Yakk, oddieyeo?" tanya Jimin melihat Taehyung berdiri.
"Aku harus pulang" kata Taehyung, sembari memasukkan buku dalam ranselnya.
"Sekarang?" tanyanya, yang di balas anggukan Taehyung.
*******
Byurrr
Jisoo menyiramkan air ke wajah Irene hingga ia terbangun. Irene terbatuk, di karenakan air masuk ke hidungnya.
"Apa tidur mu nyenyak eonni?"
Irene membuka mata perlahan, samar-samar ia melihat kearah sekitar. Ada sosok lain selain dirinya, di tempat itu.
"Aku dimana? Tempat apa ini?" lirihnya.
"Jisoo?" Irene terbelalak kaget, begitu mendapati kesadaran sepenuhnya. Dalam kondisi terikat di kursi ia melihat Jisoo duduk hadapannya.
Ruangan terasa pengap dan sempit, pencahayaan di sana hanya ada satu bohlam kecil berwarna putih.
"Yakk, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku?!" pinta Irene.
"Mwo? Aku tidak mendengar mu. Suara mu sangat kecil" kata Jisoo.
Irene mulai menitikkan air mata, ia benar merasa takut. Berbagai macam pikiran aneh, terlintas di benaknya. Ia tidak ingin jika harus mati konyol di tangan anak SMA labil.
"Jisoo-ah, jebal. Lepaskan aku" cicitnya, sembari menangis.
Sebelah sudut bibir Jisoo tertarik, ia merasa melihat seseorang tak berdaya dan meminta pengampunan.