Jangan lupa voment, guys^^
***
Sempurna itu ada, tetapi tidak diciptakan untuk manusia. Itulah kenapa Tami memiliki banyak kekurangan. Secara visual dan talenta, dia memang diberkati oleh Tuhan. Penampilannya nyaris tak bercela, terlihat amat mengesankan di mata orang-orang. Namun, perihal keluarga, Tami sangat tidak beruntung. Ditinggalkan kedua orang tua untuk selama-selamanya di usia muda, yakni lima belas tahun, Tami dipaksa kuat sebab merupakan anak sulung.
Bahu Tami mesti berkali-kali lebih kokoh untuk menopang dunia sang adik yang kala itu berusia tiga belas tahun. Dia yang tadinya pura-pura tegar, sekarang menjelma gadis tangguh. Kecelakaan ganjil yang menimpa orang tuanya memberi Tami banyak rasa sakit sehingga mentalnya tertempa. Seiring waktu berlalu, dia mulai terbiasa dengan kenyataan yang kerap melenceng dari harapan. Dia juga jadi paham bahwa uang dan kekuasaan punya kekuatan mengesankan untuk melenyapkan nyawa manusia dan membeli keadilan.
"Kenapa gak nginep aja, Onty?" Tami yang tengah nyemil keripik di sofa, sambil menonton film The Narnia, bertanya pada seseorang yang barusan lewat di belakangnya. Meski tak tertangkap penglihatan Tami, tetapi bunyi derap langkah dari sandal rumah yang si wanita kenakan terdengar cukup nyaring, menyaru dengan suara gemerencang dua bilah pedang yang berbenturan di layar kaca. Tami sejatinya tipe manusia realistis, mengedepankan logika di atas segalanya, tetapi untuk tontonan dan hiburan, film-film fantasi selalu berhasil membuat gadis itu ketagihan.
Wanita yang Tami panggil Onty itu menjawab sembari berlalu menuju dapur, "Gak bisa, Sayang."
Tami melirik sekilas ke arah dapur, lalu memutar bola mata malas. Dia kesal karena akhir-akhir ini bibinya itu selalu menolak jika diminta menginap. Padahal dulu beliau bilang akan terus membersamai Tami dan Kenan di rumah peninggalan sang kakak, menjaga dua keponakannya yang berharga. Namun, lihat? Dusta!
Ini semua gara-gara Om Angga mempersunting Onty Maudy, membawanya pergi dari Tami dan Kenan. Andai dulu Om-Om yang berprofesi sebagai polisi itu tidak mengatakan kecurigaannya perihal kematian orang tua Tami yang janggal dan memberitahu Onty Maudy bahwa kemungkinan adanya sabotase dalam kecelakaan tersebut, mungkin beliau tidak akan jatuh cinta padanya. Tidak akan ada pertemuan intens untuk membahas kasus, tidak akan ada drama diantar pulang karena kemalaman. Ah, takdir ada-ada saja. Selalu punya cara menyatukan dua insan jika memang sudah jodohnya.
"Sayang," teriak Onty Maudy dari dapur, membuat Tami beringsut bangkit untuk memenuhi panggilan tersebut. Sejak mama Tami wafat, sosok cantik nan anggun yang wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan sang kakak itu memang telah Tami anggap seperti ibunya sendiri.
Beliau adalah satu-satunya keluarga dari pihak ibu Tami yang selalu ada di momen-momen terburuk dalam hidup Tami. Yang tidak bosan memotivasi gadis itu untuk bangkit pasca kepergian kedua orang tuanya. Segala perkara yang terasa tidak adil tentang kematian sang kakak beserta kakak iparnya, Onty Maudy mau memperjuangkan keadilan bagi mereka dan juga demi Tami. Namun, pada akhirnya beliau harus menerima kenyataan pahit; kemalangan yang menewaskan orang tua Tami dinyatakan murni sebuah kecelakaan.
Awalnya Tami dan Onty Maudy sudi menerima dan memilih berlapang dada. Pasrah, ini mungkin sudah jalannya. Namun, belakangan mereka mendengar kabar dari rekan Om Angga bahwa ada uang dan kekuasaan yang bekerja di balik kasus tersebut. Hawa panas dari pundi-pundi rupiah yang jumlahnya fantastis pun sukses melibas nurani, membungkam mulut-mulut para petinggi yang berwenang di pengadilan.
Kasus ditutup sebab dalang di balik sabotase merupakan orang berpengaruh dan punya jabatan. Tami yang berasal dari keluarga berkecukupan tentu tidak bisa bertindak banyak selain meminta pembalasan paling adil dari Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!