Tiga bulan terakhir, tepatnya setelah Kenan resmi jadi anak SMA, Tami lebih sering berangkat sekolah dengan sang adik. Dulu, posisi ojek pribadi tersebut dipegang Emil. Namun, karena sekarang arah menuju sekolah Kenan melewati sekolah Tami, jadi gadis itu memilih cara paling efektif. Sebenarnya sejak dulu Tami lebih suka naik bus sebab kasihan pada Emil yang harus jauh-jauh menjemputnya.
Letak rumah sang kekasih yang cuma butuh sepuluh menit untuk sampai sekolah, malah melar jadi setengah jam karena mesti putar arah menjemputnya. Tami sudah menolak, bahkan pernah berangkat sendiri padahal Emil sedang di perjalanan menuju rumahnya. Namun, aksi pemberontakan tersebut berakhir sia-sia. Emil tidak kapok. Besoknya si tampan itu datang lagi dan lagi sambil menulikan telinga akan ocehan Tami. Beruntung sekarang ada Kenan yang bisa Tami jadikan alasan supaya Emil berhenti mempersulit diri sendiri.
Untuk Emil yang tidak marah sedikit pun kala itu, Tami sekali lagi sukses dibuat jatuh cinta. Dari dulu, lelakinya memang selalu memesona dengan cara berbeda. Tak merayu lewat kata, tak memperdaya melalui tingkah menggoda. Emil selalu tampil cuek, tetapi diam-diam mengerahkan banyak upaya untuk memberi Tami perhatiannya. Yang mengenal Emil sekilas mungkin hanya terpesona pada rupa, tetapi Tami yang telah tahu betapa gentle lelaki itu, kini benar-benar terpikat pada sifatnya.
"Ini orang ngapain dulu, dah?" gumam Kenan seraya menatap malas ke dalam rumah. Dia mulai kesal karena kakaknya belum juga keluar padahal jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. "Tami buruan!"
"Give me three seconds!"
Teriakan dengan nada melengking dan agak serak itu dibarengi bunyi grasak-grusuk dari dalam rumah, membuat Kenan yang sudah stand by duduk ganteng di motor sport-nya mengernyit heran. Padahal sang kakak tidak dandan heboh, sekadar pakai pelembap bibir dan wajah, tetapi waktu yang perempuan itu butuhkan untuk bersiap sungguh menguji kesabaran Kenan yang menungguinya.
Ngapain dulu, sih, anj?!
Mengingkari janji tiga detik, Tami baru menunjukkan batang hidungnya tiga menit kemudian. Kenan keburu dongkol, malas mengomel karena tak ada gunanya juga, jadi dia hanya menatap datar sang kakak yang mengambil langkah tergopoh-gopoh sambil cengar-cengir ke arahnya. Kenan sejatinya merasa bersalah pada Tami, sebab sejak orang tua mereka meninggal, dia malah bersikap acuh tak acuh, bahkan cenderung menjauh dari kakaknya itu. Namun, jika ditanya apakah dia sayang pada Tami, maka jawabannya cuma satu kata; sangat.
"Gue udah cantik belum?" tanya Tami antusias sembari menerima uluran helm dari Kenan. "Hari ini gue pake bedak biar fresh! Kasih nilai, Nan!"
Kenan yang sudah memakai helm, mendengkus keras di balik pelindung kepala tersebut. Namun, meski berlagak muak, dia tetap meneliti wajah Tami untuk memberikan penilaian. Lima detik memudar, suara berat Kenan lantas terdengar, "Nol. Gak ada bedanya sama kemarin."
Plak!
Tami geplak saja helm di kepala Kenan agak keras. "Sekali-kali nyenengin gue gak akan bikin lo mati, Ganteng!"
Bola mata Kenan berotasi. "Males."
Tami menghela napas, kepalang frustrasi. Harusnya dia tidak berharap lebih dari sang adik sebab sudah jelas cuma kecewa yang bakal didapatkan. Sambil cemberut, gadis itu naik susah payah ke boncengan. Tangannya tanpa sungkan menelusup perlahan ke celah pinggang dan lengan Kenan, memeluk perut Kenan lalu menyandarkan pipi di bahu pemuda itu. "Kuy jalan!"
Bukannya patuh, Kenan malah mematikan mesin motornya. Bahu pemuda itu naik sekejapan tanda ada napas panjang yang dia tarik sebelumnya. "Tangan lo singkirin."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!