12. Siapa, Emil?

2.5K 416 136
                                    

A/n; tembus 30 komentar, up next chapter. Ayo, guys jarinya diajak senam wkwk Happy reading^^

***


Tami menyukai keramaian, tetapi menyepi di balkon rumah malam-malam seraya merenungkan banyak hal merupakan momen yang suasana damainya sukar ia definisikan lewat kata-kata. Ketenangan dirasa, padahal isi kepala gadis itu riuh oleh berderet-deret tanya. Lantas, tema overthinking Tami malam ini adalah tentang absennya Emil di sekolah lantaran menemani Elena yang mengalami penurunan kondisi tadi pagi. Selayaknya gadis kebanyakan, Tami gagal menepis kecemburuan.

Masih Tami ingat dengan jelas wajah khawatir Emil kala meninggalkannya di dekat halte bus. Pemuda itu, kekasihnya sendiri, tampak begitu cemas karena perempuan lain. Ah, Tami tidak suka. Dia merasa sesak mengingat Emil sampai berlari demi menemui Elena di rumah sakit. Tidak peduli meski Elena dan Emil bersahabat sejak lama, bahkan jauh sebelum dirinya mengenal Emil, tetap saja Tami tidak rela. Kedekatan mereka benar-benar berhasil membuat gadis itu uring-uringan sepanjang hari. Hazmi yang tidak tahu apa-apa sampai kena imbasnya.

Dia sepenting itu, ya, Emil?

"Boleh ikutan bengong gak?"

Lamunan Tami seketika buyar kala suara Hazmi terdengar dari balik punggungnya. Ia menoleh dan menemukan pemuda itu berdiri di ambang pintu. Sejenak, Tami pandangi wajah Hazmi yang luput dari gurat-gurat jenaka. Dilihat dari aura, dia hawa-hawanya datang dengan pemikiran waras dan serius. Jadi, Tami pun memberi respons baik, mempersilakan kawannya itu mendekat untuk duduk di sebelahnya.

Hazmi meletakkan dua kaleng susu dengan merek beruang ke atas meja, lantas menyambut tatapan lesu yang Tami arahkan padanya. "Kenapa, hm?"

Satu sudut bibir Tami naik sekejapan merespons nada lembut di ujung kalimat Hazmi. "Sok cakep lo pake ham hem ham hem segala," cibirnya.

Dengan candaan itu, kehampaan yang sempat membumbung tinggi di udara otomatis sirna. Ini terasa lucu bahkan bagi Tami sekalipun, perihal dirinya yang selalu terhibur hanya dengan melihat wajah Hazmi. Padahal Hazmi tidak sedang melawak, alias seratus persen mode serius. Efek keseringan bercanda membuat aura positifnya tetap terpancar meski dia sekadar duduk tak melakukan apa-apa dan cuma mengedip-ngedip saja. Kesan lucu sudah melekat pada dirinya, menjadi seseorang yang menularkan bahagia tanpa perlu banyak usaha.

Keseriusan di wajah Hazmi juga ikut lenyap, berganti cengiran dan tatap jenaka. "Gue pengin jadi cool juga kayak si Emil, Ay. Dilihat-lihat, ternyata keren kalau cowok jutek gitu. Dingin-dingin kayak minta dikulkasin."

Hanya dengan begitu saja, keresahan sertamerta minggat dari benak Tami. Urusan memperbaiki suasana hati, Hazmi memang ahli. "Daya pikat tiap orang itu beda, Az. Lo juga keren. Garis bawahi ini; kebanyakan cewek prefer cowok humoris ketimbang yang cool. How lucky you have both of it."

"Emang gue cool juga?"

Tami menoleh demi memamerkan senyumannya. "Misal lagi serius, lo ganteng banget. Sumpah gak bohong."

Kepercayaan diri Hazmi yang semula sudah tinggi, dipuji demikian sertamerta membuatnya jumawa. Dengan tampang songong yang kentara menyirat bangga, pemuda itu berdeham sok cool dan berujar, "Pantes dulu lo naksir gue, ya, Tam."

Diiyakan dengan cepat oleh Tami sebab perkataan Hazmi benar adanya. Dulu, ia nyaman berada di dekat pemuda itu karena sifat humoris dan loyalitasnya dalam berteman. Meski Hazmi tipe kawan yang tertawa dulu baru kemudian membantu, tetapi jika dibutuhkan dia tak pernah banyak alasan. Selalu bisa, selalu bersedia. Namun, jujur saja Tami lebih jatuh hati pada pembawaan Hazmi yang serius. Dia bisa jadi amat bijak dalam menyikapi keluhan Tami, tidak pula menghakimi walau tahu Tami melakukan kesalahan. Di balik ramai yang Hazmi suguhkan pada orang-orang, ada jiwa kelewat perasa bersemayam. Si peka yang hobi menebar keramahan itu sejatinya adalah seorang pemikir mendalam.

[✓] T O X I CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang