Jangan jadi silent reader, please🙂
Tinggalkan jejak, ya^^
Chap ini agak panjang, semoga gak bosen bacanya. Happy reading, Guys.***
Gemericik air jadi latar suara yang menemani Tami termenung di kamar mandi. Lima menit lalu, gadis itu terbangun dari tidur dengan keringat membasahi dahi serta deru napas tak teratur. Kepanikan tersebut dipicu bunga tidur, di mana Tami bertemu kedua orang tuanya. Kala merasakan kesedihan yang keterlaluan, ia memang kerap dikunjungi. Entah sungguhan dijenguk atau cuma alam bawah sadar Tami saja yang mencoba menghibur nespatanya. Meski wajah Ayah dan Ibu tampak samar dan seolah bisa lebur hanya karena satu sentuhan, tetapi Tami bersyukur dapat merasakan lagi kehadiran mereka. Memeluk mereka walau tak nyata.
Tami menatap nanar pantulan wajah sayu di cermin. Kehampaan memancar gamblang dari sepasang matanya yang sendu. Satu helaan napas gadis itu lepas, nyeri yang diharap akan luruh justru malah semakin ngilu. Menyesakkan dadanya. Sekali lagi, Tami merunduk untuk membasuh muka, lantas memutar kran air yang sontak mengundang senyap. Dinginnya perlahan menembus pori, mencipta sensasi menenangkan yang tembus hingga hati. Di kesunyian ini, dalam kebisuannya, jiwa Tami menangis pilu.
Merasa cukup mengasihani diri sendiri, Tami memutuskan keluar dan berencana tidur lagi meski akan butuh banyak usaha untuk itu. Baru akan naik ke ranjang, suara ketukan pada pintu malah terdengar. Ia melirik jam dinding dan mendapati sekarang pukul setengah dua belas malam. Dahi gadis itu kontan mengernyit terheran-heran. Seraya mendekat ke pintu, batin Tami sibuk mengira-ngira siapa yang tak sopan mengusiknya di waktu sedemikian larut? Mustahil Kenan ... jadi kemungkinan Hazmi?
Kaki gadis itu seketika berhenti.
"Enggak ...." gumam Tami sambil mengusap wajah frustrasi. Ia belum siap bertatap muka dengan Hazmi setelah apa yang dilakukannya beberapa jam lalu. "Tami bodoh! Lo tadi ngapain mau nyium dia, sih?!"
Tempo ketukan pada pintu kian lambat di tiap menit berlalu, tetapi suara serak Hazmi yang menanyakan Tami sudah tidur atau belum terdengar kemudian. Lamunan gadis itu seketika buyar, ia pun bergerak cepat hendak membukanya. Persetan dengan peristiwa memalukan di lapangan basket, Tami cuma perlu pura-pura lupa dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Harusnya bisa sedemikian sederhana jika Hazmi tak lancang menyinggung topik tabu tersebut.
Setelah sempat memejam dan menghela napas dalam-dalam, Tami pun menarik pelan pegangan pintu. Benar saja sosok Hazmi berada di baliknya, cengengesan dengan tampilan berantakan. Wajah pemuda itu kusut masai, mata tampak ngantuk, rambut mencuat sana-sini. Serta tengok pakaian menggelikan yang dia kenakan, dari sekian banyak kaos keren di lemari Kenan yang bisa dipinjam, kenapa harus baju tidur bermotif Anna Frozen hadiah ulang tahun Kenan dari Raja yang jadi pilihannya? Lagi pula kenapa Raja iseng memberi kado nista tersebut?
Ngomong-ngomong, Kenan memang suka sekali pada perempuan ajaib yang tangannya mampu membekukan itu. Bahkan mungkin lebih favorit ketimbang Tami sekalipun bagi Kenan. Karena kegemarannya pada sosok tak nyata tersebut Kenan jadi cuek bebek dengan gadis-gadis di dunia nyata.
"Ganggu gak?" tanya Hazmi. Tangannya bergerak kikuk ke tengkuk, mengusapnya demi mengusir gugup.
"Gak, sih. Kenapa?"
Tangan Hazmi yang semula ditaruh di belakang tubuh, ia kedepankan sehingga Tami bisa melihat satu lilin putih dalam genggamannya. "Ayo rayain ulang tahun lo, Tam. Tiup lilin biar estetik gitu, kuenya entar nyusul."
Tami terkekeh, diambilnya benda bersumbu itu dari tangan Hazmi, lantas ia amati dengan sorot geli. "Ini kenapa lilinnya kayak gini? Lo mau ngajak gue ngepet, kah, Az?" Ledekan tersebut direspons tawa oleh Hazmi, tak ada sedikit pun bantahan darinya. "Lagian ultah gue lusa, ngapain dirayain sekarang? Lo gak boleh melanggar kesakralan tanggal, Az."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!