Part ini agak huehuehue😭
***
Tami tidak pernah mengira kisah cintanya bersama Emil akan sampai pada titik ini; pernikahan. Macam mimpi yang jadi nyata, terlalu tak terduga, tetapi sangat membahagiakan. Sore itu, setelah mereka kembali bertemu di rooftop, beberapa bulan kemudian keduanya memutuskan menyebar undangan. Meski terkesan buru-buru, tetapi kawan-kawan mereka tak kaget sama sekali atas kabar bahagia tersebut. Mereka menyambutnya dengan suka cita, lebih-lebih Ogy dan Geya. Raja yang sedang mengejar gelar Magister di Jerman, padahal sedang sibuk-sibuknya, sampai rela menyempatkan datang. Momen sakral yang menyatukan sohib dan mantan gebetan, mana mungkin ia lewatkan.
Sekarang, pernikahan Emil dan Tami masuk bulan ketiga. Mereka masih sama-sama menyesuaikan diri mengemban status baru sebagai pasangan suami istri. Sejauh ini, karena terbiasa bersama dari dulu, membuat mereka tak kesulitan memahami satu sama lain. Meski sempat terpisah beberapa waktu, nyatanya tak banyak perubahan terjadi pada masing-masing individu.
Seorang Emilio di mata Tami tetaplah si manusia cuek, ah ralat, kini lelaki itu bersikap lebih hangat dan romantis. Sedangkan bagi Emil, Tami masihlah perempuannya yang tampak kokoh di luar, padahal amat rapuh di dalam---sebuah eksistensi yang wajib dilindungi dengan segenap hati.
Cita-cita Emil untuk melihat Tami menjelang tidur dan di pagi kala terbangun juga dikabulkan Tuhan. Tak terhitung syukur serta limpahan bahagia yang ia rasa atas anugerah ini, dan yang pasti Emil tidak akan menyia-nyiakannya. Kebodohan di masa lalu telah memberinya banyak pelajaran. Ia tidak ingin mengulang kesalahan dulu dengan menciptakan kesempatan untuk kehilangan seseorang seperti Tami Dahayu.
Malam ini, setelah seharian tak melakukan aktivitas apa-apa karena tak enak badan, Tami berusaha menghilangkan suntuk dengan membaca novel. Di kasur, ia terduduk sambil menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Dari balik kaca transparan, bola matanya bergulir ke kiri-kanan berulang-ulang mengikuti pergantian barisan aksara di bukunya.
"Lho? Kamu belum bobo?"
Tami mengalihkan fokus pada sang suami yang baru selesai mandi. Namun, perempuan itu beringsut melempar pandang ke sembarang arah ketika mendapati Emil keluar cuma pakai handuk dililit sebatas pinggang dengan bagian tubuh atas masih basah. Ini agak aneh, bahkan Tami mengakui keanehannya sendiri; tentang dia yang belum bisa terbiasa melihat Emil bugil. Padahal jika harus frontal menyebutkan fakta, ia telah melihat segalanya. Ia sudah hafal tiap lekuk tubuh Emil ketika tanpa busana. Namun, tetap saja, Tami akan merasa hangat sebadan-badan kala dihadapkan pada momen seperti itu.
Emil mendengkus pelan disusul kekehan geli melihat gelagat malu-malu Tami. Dan lihat pipi istrinya yang samar-samar mulai digores warna merah itu, Emil ingin mencubitnya. Akan tetapi malam ini ia memutuskan pakai baju dulu sebelum mengajak si kesayangan bermanja-manja, jika tidak, alamat bakal panjang urusannya. Kalau keadaan Tami sedang sehat, Emil tentu tak akan repot menahan diri, tetapi kini ia tak mungkin meminta dilayani.
Emil selesai dalam tujuh menit memakai piyamanya, lalu mendudukkan diri di sisi Tami. Ia sempat mengecek dahi sang istri untuk memastikan demamnya turun, dan beruntungnya sungguhan turun.
"Kamu udah makan?" tanya Tami seraya menaruh novel ke atas nakas di sisi ranjang. Ia merasa agak bersalah karena malam ini absen dari menyiapkan makanan untuk dinner.
"Udah, kamu?" Emil merunduk untuk mengecup singkat bahu Tami, tetapi matanya setia memandang wajah sang istri. Ketika mendapat balasan berupa anggukan pelan dari Tami, ia kembali bersuara, "How was your day, Love?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!