Jangan jadi silent reader🙂
Happy reading^^
***
Belum usai, ternyata badai masalah masih terus berlanjut. Semesta benar-benar tak memberi jeda bagi Tami untuk mengambil napas lega. Baru kemarin ia dihantam kenyataan pahit mengenai kebenaran kematian orang tuanya, lalu sekarang datang prahara lain yang tak kalah pelik; Emil mengalami cedera di kepala saat akan menjemput Kenan dari arena tawuran. Beruntung lukanya tak fatal sehingga hanya perlu beberapa jahitan saja. Kini, pemuda itu sedang terlelap di kamar rawat inapnya setelah mengotori ruang IGD dengan muntahan. Selama ditangani tenaga medis, Tami setia mendampingi sambil tak henti-henti melangitkan doa. Meminta supaya Emil tak pergi ke mana-mana. Tetap bernapas di sisinya.
Karena jujur saja, melihat kondisi Emil di perjalanan menuju rumah sakit tampak amat kepayahan, sempat muntah hingga tak sadarkan diri, Tami jadi kesulitan berpikir positif. Segala kemungkinan buruk berkumpul di kepalanya, memicu pesimisme, dan berakhir dengan Tami yang sesenggukan sembari menggenggam tangan Emil erat-erat. Namun, setelah Emil melakukan pemeriksaan dan sebagainya, dokter pun memberitahu Om Doni bahwa pemuda itu tak mengalami luka serius. Kendati cederanya dikategorikan ringan, tetapi kondisi Emil masih harus terus berada dalam pemantauan. Dan ketika Tami mendengar kabar demikian, ia dapat merasakan bebannya menguap. Kecemasan yang bercokol di dada Tami berangsur-angsur melebur.
Sekarang, Tami terduduk di depan ruang rawat inap Emil. Termenung seorang diri sambil menatap kosong dua Hoodie yang menguarkan bau anyir di pangkuannya. Benar, itu adalah Hoodie couple pemberian sang mantan. Milik Emil didominasi warna merah pada bagian lengan kiri, sedangkan punya Tami sudah tak karuan bentukannya; berlumuran darah serta sobek di bagian depan akibat dilepas paksa dari tubuh Emil dengan cara digunting. Tami tak keberatan, tak juga menyayangkan. Ia justru malah kepikiran tentang betapa sungguh-sungguhnya Emil berusaha melindungi dirinya dan Kenan.
Di dalam, ada Om Doni menunggui Emil, makanya Tami memutuskan berdiam diri di luar. Ia merasa tak enak hati sudah membuat putra beliau kesakitan. Sejatinya ini cuma perasaan Tami saja sebab lelaki dewasa itu bahkan sudah mengatakan padanya bahwa yang terjadi adalah musibah.
"Tam?"
Suara familier yang memanggil itu berhasil membuyarkan lamunan Tami. Ia menoleh, lalu menemukan Ogy berdiri di sebelah kanan sambil menyungging senyum prihatin. Ogy pun mendekat dengan langkah gontai. Begitu sampai, ia tepuk pelan bahu Tami sebagai bentuk dukungan, dan kemudian duduk di sampingnya.
Tami bertanya, "Kenan gapapa, 'kan?"
Dengan pandangan tertuju pada pakaian di pangkuan Tami, Ogy membalas, "Kenan di kostan gue sama Geya. Dia sempet panik, tapi sekarang udah baikan. Dia lagi tidur pas gue tinggal. Kalau dia telepon, jangan kasih tau apa yang terjadi sama Emil, ya?"
Dibalas anggukan lemah oleh Tami. Syukurlah, satu kecemasan lain bisa gadis itu lepaskan. "Sorry ngerepotin."
"Kayak sama siapa aja, sih, Tam."
Sesaat, senyap berkuasa. Dua insan itu saling mendiamkan. Baik Tami maupun Ogy sama-sama sedang menenangkan pikiran mereka yang beberapa jam terakhir dipaksa mengarungi peristiwa menegangkan.
"Tam ...." Panggilan Ogy memecah kesunyian yang mendominasi koridor ruang tunggu pengunjung kamar rawat. Suasana di sepanjang koridor lengang, hanya ada satu-dua orang berlalu lalang sehingga suara pelan pun bisa dengan jelas kedengaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!