Layar ponsel Tami seketika menampilkan panggilan dari Emil. Alih-alih bergegas menekan ikon hijau, gadis itu malah menatap nanar nama sang kekasih yang tertera di sana. Untuk pertama kalinya sejak menjalin kasih, Emil meminta izin pergi jalan bersama perempuan lain. Tami membiarkan sebab Elena merupakan seseorang yang hadir di hidup Emil jauh sebelum dirinya ada, tetapi fakta bahwa dia pernah jadi cinta yang Emil damba, Tami was-was juga. Bukan tentang masa lalu atau masa sekarang seperti yang Raja katakan, ini pasal bagaimana jika perasaan Emil dan Elena yang pernah bersemi lalu dipaksa padam, kembali terpantik karena mereka berdekatan lagi?
Tami menghela napas, menyadari overthinking-nya cuma buang-buang energi. Daripada lelah menduga-duga sesuatu yang tak tentu, gadis itu memilih beranjak dari sofa menuju teras, hendak duduk di sana sembari menunggu kepulangan Kenan. Sekarang waktu sudah petang menjelang malam, sang adik tadi mengirim pesan akan sampai di rumah pada jam-jam sekitaran ini. Tami kadang ingin menyusul Kenan ke sekolahnya, mencari tahu apa yang dia lakukan hingga tak pernah berada di rumah sebelum Maghrib berlalu.
"Truth or dare?" Tami langsung menembak Emil dengan pertanyaan begitu sambungan terhubung.
"Truth." Dan Emil tak protes sama sekali. Urusan begini, pemuda itu memang tak pernah bersikap sulit, gampang diajak kompromi, selalu iya-iya saja pada maunya Tami.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!