Sakit perut akibat menstruasi adalah bencana besar bagi Tami. Kala terasa, kemalasan dipastikan mendera jiwa raganya. Jika sudah masuk tanggal haid, dia hanya ingin rebahan sepanjang hari, enggan melakukan aktivitas apa pun karena tubuhnya mendadak jadi seperti jeli. Selain berimbas pada fisik, psikologis Tami juga ikut terpengaruhi. Kenan dan Emil merupakan dua yang kerap jadi korban kelakuan uring-uringan Tami.Seperti malam ini, Tami yang terbiasa mandiri dan anti merepotkan orang lain terpaksa meneror sang kekasih untuk membelikannya makanan. Dia sebenarnya masih sanggup keluar mencari makan sendiri, tetapi otak gadis itu tiba-tiba menghadirkan ide nista, yakni menyugesti untuk memancing kekesalan Emil. Lagi pula daya tarik kasur tak main-main kuatnya di situasi begini, jadi sesekali membuat Emil datang ke rumahnya hanya untuk mengantarkan makanan tentu bisa dimaklumi. Hitung-hitung belajar jadi pacar perhatian dan peka.
Ah, tetapi Emil sudah kelewat perhatian jadi manusia, tingkat kepekaannya juga tinggi meski dibayangi gengsi. Jadi, pada dasarnya memang Tami saja yang terlalu iseng.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan, di luar gelap dan hujan, membuat Tami makin nyaman meringkuk di ranjangnya yang empuk. Mestinya dia bisa terlelap sekarang meski nyeri di perut tak jua mereda, tetapi kekhawatirannya pada sang adik menjaga mata gadis itu tetap terbuka. Sejak Kenan masuk SMA, terlebih setelah tahu dia ikut perkumpulan anak-anak nakal, Tami jadi makin cemas dibuatnya. Tami lebih senang jika Kenan bergaul dengan mereka yang slengean ketimbang yang hobi tawuran. Yang secara sadar menyerahkan diri untuk mati konyol.
Tami sungguh tak mengerti apa yang Kenan pikirkan hingga memutuskan bergabung dengan mereka-mereka itu.
Gadis berselimut tebal itu, yang kesadarannya tengah jalan-jalan dalam lamunan, kontan menggapai ponsel di sebelah bantal kala getaran benda tersebut mengusik ketenangannya. Wajah muram Tami seketika semringah kala pesan Emil dia temukan di sana, memberitahu bahwa kini dirinya berada di depan pintu dan menyuruh Tami untuk bergegas membukanya. Dengan semangat menggebu-gebu, gadis itu melompat dari ranjang kemudian melangkah cepat menuju pintu. Tami girang makanannya sudah datang!
Begitu pintu terbuka, cengiran Tami kontan sirna. Emil memang ada di sana, berdiri dengan kedua tangan menjinjing banyak keresek, tetapi keadaan lelaki itu yang basah kuyup membuat Tami kehilangan kata-kata.
"Otak di mana otak?" tanya Tami kesal. "Gue udah berapa kali bilang, sih, Mil ... lo itu keren walau pake jas hujan. Sumpah, gue gak bohong. Lo masih jadi cowok paling cakep seangkatan meski pake baju yang lo bilang kayak kelelawar itu. Kalau kata orang enggak, emang jadi ganteng dan kece di mata gue doang gak cukup?"
Emil hanya menatap datar, lalu memejam sesaat kala setetes air jatuh dari ujung rambut poninya yang basah. "Gara-gara siapa ini, hah?"
Tami langsung menyahut sewot, "Gara-gara elo ngegedein gengsi!"
Smirk terbit di bibir tipis Emil yang mengkilat karena air. "Terserahlah, Tam. Sebahagia elo aja. Tapi di sini dingin banget ngomong-ngomong, lo mau ngobrol berapa lama lagi?"
Peka dengan sarkasme yang Emil tembakkan, Tami kemudian mengambil keresek dari genggaman kekasihnya itu. "Langsung ke kamar mandi, jangan mampir ke dapur atau leha-leha dulu di sofa! Entar basah!"
Sambil mendorong pelan bahu Tami supaya mendapat sedikit celah untuk masuk, Emil membalas, "Berisik."
"Kurang ajar!" umpat Tami sembari menatap sinis punggung Emil yang berlalu ke kamar mandi di kamar Kenan. Pemuda itu dan adik Tami memang sudah sangat akrab, jadi ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, Emil tidak sungkan meminjam baju Kenan. Lagi pula kaos-kaos mahal di lemari Kenan sebagiannya adalah pemberian Emil. Namun, walau iya pun Kenan suka sekali pada Emil, tetapi masih ada Ogy yang diam-diam dia jadikan sebagai abang favorit.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Ficção Adolescente"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!