Jangan jadi silent reader,
Happy reading^^***
Hazmi bilang cinta membutuhkan pengorbanan, maka Tami akan melakukannya; berkorban. Dia akan mempertaruhkan hati yang telah compang-camping demi memberi Emil kesempatan kedua untuk membuktikan kesungguhan ucapannya. Jika Emil kembali menyakiti, bukan cuma pemuda itu yang bakal Tami pukul, tetapi Hazmi juga. Sebagai seseorang yang menyarankan Tami bertindak demikian, Hazmi harus ikut merasakan kesakitannya. Namun, andaikan pengorbanan Tami dihargai, ia tentu tak akan ragu berlari menyongsong Hazmi untuk memberinya pelukan.
Akan Tami dekap erat raga yang pernah ia cintai tersebut, lantas membisikinya banyak-banyak terima kasih. Itu pun jika Hazmi masih di sini, sebab tak terasa hanya tersisa tiga hari lagi sebelum pemuda itu pulang ke Bandung, sebelum kembali meninggalkan Tami. Hazmi, untuk ke sekian kali memaksanya menabung rindu dengan batas waktu tak menentu. Menyiksa Tami yang pasti bakal mendamba pertemuan lainnya.
Temu lain yang abu, sebab siapa tahu sesudah ini, pemuda itu akan menghilang bagai ditelan bumi lagi.
"Jangan lihatin gue terus." Tami mengalihkan fokusnya ke depan barang sebentar, menatap datar seseorang yang sedari tadi betah memandanginya. Bikin risih saja.
"Kenapa, sih?"
Gadis itu merotasi bola mata disertai decak keras. "Elo yang kenapa?"
"Gue cuma lihatin doang."
"Ya ngapain lihatin?"
Dia yang ditanya menyempatkan senyum tipis. "Ya cantik soalnya."
Tami kontan mendengkus sembari menendang ujung sepatu Emil.
"Menggelikan!"
Hari ini, Tami senang sebab Emil mau menepati janjinya. Selain jadi agak modus, pemuda itu juga tampak berusaha sekali menjaga jarak dari Elena. Meski sempat satu meja makan di kantin tadi pagi, tetapi tak sepatah kata pun Emil lontarkan pada si Titisan Ursula, tak pula meliriknya. Membuat suasana sarapan jadi sedikit canggung. Kendati atmosfernya kaku, tetapi Tami suka. Melihat wajah sedih Elena yang diabaikan Emil adalah sebuah kesenangan. Si gadis manipulatif itu pantas mendapatkannya. Rasakan!
"Cita-cita gue berubah, Tam." Emil tiba-tiba berkata random. "Mau tau?"
Tami yang atensinya sudah kembali tenggelam dalam bacaan, merespons cuek, "Gak! Jangan ajak gue ngomong!"
"Gue mau jadi pengacara juga."
Sebaris kalimat itu menghantarkan sensasi tak akrab yang membuat darah Tami berdesir hebat. Pandangannya sontak naik, menatap lekat wajah tenang Emil. "Pengacara? Kenapa?"
Menjadi seorang pengacara adalah keinginan Tami sejak dulu. Profesi yang sempat mendiang ayahnya geluti tersebut menyuguhkan tantangan intelektual yang menarik. Tami suka menganalisis masalah dan memecahkannya, jadi akan sangat cocok jika ia memilih pekerjaan ini.
Yang tadi merupakan alasan klise, dorongan terkuat Tami ingin terjun ke bidang karier yang identik dengan prestise profesi ini adalah kematian kedua orang tuanya. Dia mungkin tidak bisa memperjuangkan keadilan untuk mereka sebab kasusnya sudah lama tutup buku, tetapi ada banyak kasus serupa dan Tami ingin menebus ketidakberdayaannya di masa lalu melalui itu. Menyelamatkan Tami lain di luar sana supaya tak tumbuh jadi manusia pendendam seperti dirinya.
Sampai kapan pun Tami akan selalu mengingat satu nama yang pernah Onty Audy beritahukan sebagai dalang dari sabotase mobil yang menyebabkan kecelakaan tragis di mana nyawa orang-orang yang Tami kasihi terenggut. Di neraka nanti, keparat itu harus bertanggung jawab atas hancurnya dunia Tami beberapa tahun silam. Seorang manusia keji yang andai bisa Tami jangkau dengan tangan pasti bakal dia remukan tulangnya hingga menjadi serpihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!