Happy reading^^
***
Dejavu. Rasanya sungguh seperti mimpi bisa kembali menjejakkan kaki di ambang gerbang SMA Gemilang. Terhitung lima tahun sudah Tami meninggalkan tempat penuh kenangan ini, dan sekarang bangunan yang tersuguh di depannya berubah semakin rapi dan tertata. Tampak lebih indah juga. Banyak ruang kelas direnovasi, bahkan ia mendapati bangunan baru di sudut sekolah.
Gadis itu datang dengan tampilan sederhana layaknya murid SMA. Ia memakai Hoodie pink dengan bagian tengah terdapat jahitan manual, rambutnya dibiarkan tergerai natural, kemudian wajahnya sekadar dipoles pelembab dan bedak tipis-tipis serta sedikit lipstick warna nude untuk bibir. Tami ingin tampil di hadapan Emil persis seperti terakhir kali mereka bertemu sebelum perpisahan. Menyuguhkan diri yang biasa Emil temui dalam keseharian mereka dulu. Dia ingin menyambut sang mantan sebagai Tami yang tak pernah pergi, sebagai seorang Dahayu yang masih sama seperti dulu, sebagai seseorang yang mencintai Emil dan Emil cintai.
Beberapa menit lalu Ogy memberitahu bahwa Emil sudah menunggu di rooftop. Tak bisa disangkal, Tami jadi gugup dan mendadak berkeringat dingin. Kekhawatirannya tentu beralasan; dia merasa datang hanya untuk mengetahui Emil tidak lagi menaruh rasa. Datang, untuk melepaskan pemuda itu seutuhnya.
Sebut Tami pesimis, tetapi logikanya menyuruh gadis itu berpikir logis. Emil sedang amat gencar mengumbar perasaan pada seseorang di akun media sosialnya, memuja dengan kata-kata manis yang tidak pernah Emil lakukan untuknya. Perempuan beruntung itu, entah bagaimana rupa dan siapa namanya, sungguhlah beruntung disayang Emil sedemikian dalam. Melihat perasaan sang mantan mungkin sudah teralihkan pada gadis lain, bukankah wajar-wajar saja jika Tami memilih menyurutkan harapan?
Ia takut dikecewakan.
Bayangkan, menunggu selama lima tahun sambil merawat luka dari masa lalu. Susah payah Tami bertahan demi masa depan bahagia bersama Emil. Akankah semua berakhir setragis ini?
Jawabannya akan Tami ketahui beberapa saat lagi, tinggal menghitung menit sebab kini kaki gadis itu sudah sampai di depan pintu menuju bagian atap gedung di mana Emil menunggu.
Tami memejam, napas panjang diembuskan. Pegangan pintu ia gapai, benaknya terus melafalkan sebaris kalimat penenang; everything will gonna be okay, just go and end it well.
Daun pintu dibuka perlahan, seolah ia tak mau cepat-cepat menyongsong rasa sakit. Diingat-ingat, ini agak menyedihkan, tentang dirinya yang telah menaruh segala harap pada pertemuan ini. Gadis itu berekspektasi tinggi akan menemui akhir bahagia, tetapi keadaan seakan-akan tak mendukungnya. Bahkan dalam perjalanan tadi Tami melihat awan abu menggelayut pekat di langit, sebentar lagi hujan tampaknya bakal menyapa bumi. Apakah semesta mau menemani Tami menangis sore ini?
Ketika sesuatu di balik pintu terlihat, Tami dapat merasakan energi lepas dari raganya sedikit demi sedikit. Kakinya melemas, bahunya merosot lesu. Di depan sana, pada jarak cukup renggang, Tami menemukan Emil berdiri memunggungi. Harapan Tami dikoyak, Emil tidak datang dengan pakaian yang gadis itu harapkan. Bukan Hoodie pink, melainkan hitam.
Sambil menahan perih di balik rongga dada, mengontrol ekspresi supaya terlihat tak kecewa-kecewa amat, Tami melangkah yakin mendekati Emil. Di tiap kakinya menjejak permukaan semen, ada satu potong dari hatinya yang jatuh dan hancur berkeping-keping. Sekian tahun menunggu, dia kembali diberi luka?
Emil tak berubah, masih jago dalam hal menyakiti tanpa aba-aba begini.
Ah, lihatlah punggung yang tampak kian kokoh itu, gadis mana yang sekiranya beruntung memilikinya?
Si cantik mana yang Emil beri izin untuk bersandar sepanjang waktu di sana untuk menumpahkan keresahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!