14. Okay?

2.6K 429 165
                                    

Aku cinta reader yang suka spam komen❣️ Jangan jadi silent reader, please:") Kasih tau aku kalau kalian nemu typo(s)

Happy reading^^

***

Sepanjang Tami mencintai seseorang, Emil adalah yang paling jago dalam menyakiti. Hazmi memang pernah memporak porandakan perasaannya, tetapi hancur yang Tami alami merupakan konsekuensi dari cinta sepihak sebab sejak Awal Hazmi jelas memberitahu; pemuda itu tidak mau. Sedangkan Emil beda cerita. Dia bersikap selayaknya bajingan. Plin-plan dan tarik ulur. Di satu waktu bisa menjelma racun sekaligus penawarnya. Mematahkan hati Tami berkali-kali, menjadi rasa sakit yang tidak lagi Tami sukai. Memuakkan.

"Manipulatif banget, astaga ...."

Geya adalah yang pertama berkomentar ketika Tami selesai menceritakan kejadian sore tadi. Dia menggeleng tak habis pikir. Sejak awal Geya sudah curiga ada yang janggal dengan Elena. Tingkah gadis itu memang bersahaja, tetapi aura negatif dari jiwa busuknya juga terasa. Ditambah Elena sering menyinggung masa lalunya bersama Emil di dekat Tami, Geya cukup tahu saja; gadis itu sengaja ingin mencipta huru-hara. Fatalnya mungkin berniat memisahkan Emil dari kekasihnya.

"Gue gak nyangka," sahut Ogy.

"Kok, bisa, ya?" timpal Raja.

"Namanya juga manusia." Hazmi menambahkan, "Bisa-bisa aja."

Sekarang, di kamar Tami memang terdapat banyak raga. Curhatan gadis itu didengar banyak telinga. Geya, Ogy, Raja, Hazmi, dan Kenan duduk melingkar di kasur. Sementara Tami yang jadi pusat perhatian menyandarkan punggung pada kepala ranjang sambil menatap bergiliran wajah-wajah di hadapannya. Perempuan itu jelas dilanda nestapa, tetapi dia enggan melampiaskannya ke tangisan, lebih memilih menggunjingkan Emil dan Elena bersama kawan-kawannya saja. Memaki-maki dua manusia menyebalkan itu sembari berharap telinga mereka kepanasan di sana.

"Terus ini masih sakit gak?" Hazmi yang menempati posisi persis di sisi Tami, bertanya seraya mengangkat tangan, berniat menyentuh pipi gadis itu. Namun, kala niatnya nyaris kesampaian, seseorang malah mengacaukan dengan menepisnya.

"Jangan sentuh-sentuh pacar temen gue, ya, anjir!" omel Raja sambil melayangkan pelototan. "Lo belum tau aja ngerinya si bedebah kalau marah."

Ujung lidah Hazmi menabrak dinding pipi bagian dalamnya, gestur tubuh yang menandakan dia dongkol sekarang. Sambil pamer senyum miring dan tatapan menantang, pemuda itu membalas, "Boleh diadu."

Raja tertawa mengejek. "Yakin lo?"

"Interupsi!" Kenan mengangkat rendah tangan kanannya, meminta atensi. Dia perlu menyampaikan informasi ini pada Raja. "Ngomong-ngomong, walau Bang Hazmi kelihatan kayak gini, dia aslinya jago berantem, Bang. Di Bandung, ini orang suka tawuran. Kalau lo pernah baca koran tentang tawuran antar pelajar di Ciputat, Bandung Barat, muka dia ada nyempil di sana. Fotonya butek, sih, tapi tampang tengilnya gampang dikenali."

Hazmi bingung harus bagaimana merespons pembelaan yang Kenan lakukan untuknya. Sebab selain menyanjung, Kenan ini tampaknya sekalian mengatai juga. "Ini harusnya gue terharu atau nampol lo, ya, Nan?"

Kenan mengedikkan bahu cuek dan menjawab, "Harusnya cuci muka, sih."

"Ya elah, perkara cuci muka masih aja disentil-sentil." Hazmi terkekeh seraya menepuk bahu Kenan yang berada di sisi kirinya. "Lo mah dendam dipelihara, kucing dipelihara, noh!"

[✓] T O X I CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang