Jangan jadi silent reader💣
Mari olahraga jari dengan mengetikkan komentar.Happy reading^^
***
Ternyata waktu tidak lantas menghentikan laju kendati dunia Tami hancur berantakan. Detik tetap berjalan, siang tak bosan menjemput malam, dan bumi masih berotasi. Tak ada yang peduli pada kesedihan Tami. Segalanya bergerak di garis wajar, mengulang siklus yang normal terjadi. Karena itulah Tami memilih membebaskan pikiran dari beban, mengikuti langkah masa ketimbang terpaku di tempat. Ia naik ke permukaan duka alih-alih menenggelamkan diri ke dasarnya. Tami enggan digulung nestapa lebih lama. Mulai sekarang, gadis itu akan menjadikan rasa sakit sebagai kawan akrabnya dalam menjalani hari-hari.
Satu dari sekian upayanya dalam membiasakan diri hidup bersama rasa sakit adalah, membiarkan Emil bertahan di sisinya. Tami tidak memaafkan, melainkan hanya mencoba berdamai dengan keadaan. Perlahan, ia berusaha menerima kenyataan tentang hidupnya yang kacau dan dipenuhi kebohongan. Jangan tanya soal perasaan, sebab gadis itu pun bimbang. Ia tak lagi bisa meraba mana yang lebih dalam, cinta atau bencinya. Namun, untuk saat ini, di antara semua orang, Tami merasa hanya Emil yang dapat diandalkan. Sudah pernah dibilang sebelumnya bahwa pemuda itu adalah rasa sakit yang Tami sukai. Yang meski eksistensinya kerap menyakiti, tetapi Tami tak bisa melepaskannya pergi.
Untuk sekarang tidak, entah nanti.
Hari itu, usai saling rengkuh di ambang pintu, Emil bertahan di rumah Tami hingga jam tujuh malam. Tak banyak yang ia lakukan di sana, cuma berdiam di kamar Kenan dan sesekali mengecek Tami ke kamarnya demi memastikan gadis itu tak melakukan hal-hal aneh. Sebab setelah mendengar penuturan Kenan perihal percobaan bunuh diri, Emil sungguh cemas kala Tami luput dari pandangannya. Ia takut kehilangan, takut ditinggalkan. Ia akan sangat terpuruk semisal Tami betulan pergi menyongsong pintu kematian.
Di ruang kelurga, televisi menyala, menjadi satu-satunya sumber cahaya sebab lampu ruangan dimatikan. Emil duduk di sofa, setengah merebah pada sandarannya seraya memejam. Ia sedang menikmati kekalutan, ditemani berisik suara komentator bola dalam layar kaca serta serbuan gelap dari balik punggungnya. Tadi Kenan membersamai, tetapi baru saja hengkang ke dapur untuk menyantap makanan yang Emil pesan secara delivery, jadilah ia sendirian sekarang.
Emil membuka mata begitu merasakan bagian sofa di sebelahnya memberat seolah ditimpa benda, dan ia agak terenyak ketika menemukan Tami di sana. Duduk tanpa kata di sisinya, menatap ke depan dengan mata sembap. Pemuda itu berdeham, menetralkan tenggorokan yang terasa gersang. Ia senang Tami sudi menemuinya setelah seharian mengurung diri di kamar. Emil pun mengambil posisi duduk tegap, lantas sedikit menyerongkan badan supaya leluasa melihat mantan kekasihnya.
"Emil," panggil Tami serak dan tanpa menolehkan kepala. Tangannya terulur ke depan, meraih remote di atas meja lalu mengecilkan volume televisi. Saat bising dari suara komentator bola berubah terdengar samar-samar, gadis itu kembali berujar, "Ayo main Truth or Dare."
Seperti selalu, Emil akan mengiyakan dengan mudah. Walaupun kali ini ia sedikit bertanya-tanya alasan Tami meminta memainkan game tersebut padahal situasinya tidak tepat. Namun, meski terheran-heran, Emil tetap meladeninya. Sebab segala pinta Tami, andai mampu Emil penuhi, maka pasti pemuda itu lakoni. "Who's the first?"
Tami menoleh. "Gue pilih truth."
"First impression ketemu gue."
Bola mata Tami bergulir ke atas sekejapan, gestur khas ketika ia mengingat-ingat. Wajah Tami masih menyisakan bekas tangis, tetapi matanya memancarkan sedikit binar. Ia juga bersikap tak sedingin sebelumnya, Emil bisa merasakan setitik aura bersahaja dari gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!