A/n; Chapter selanjutnya akan di up setelah komentar di chapter ini tembus dua puluh. Jangan jadi silent reader, ya, kawan. Oke sekian, happy reading^^
***
Kondisi kesehatan Kenan yang tidak sehat ternyata ada baiknya juga. Anak itu jadi di rumah seharian dan otomatis absen membuat Tami kepikiran. Bukan hiperbola, tetapi jika Kenan luput dari pandangan, Tami sungguh resah hati. Sang adik memang bukan bocah ingusan lagi, sayangnya lingkungan serta pergaulan yang Kenan masuki sangatlah toxic.
Tergabung dalam barisan siswa yang memandang tawuran sebagai hal membanggakan, menjadi satu dari sekian jiwa yang rela terluka demi menjunjung tinggi harga diri, Kenan resmi terjun ke dunia minim nurani hanya demi memenangkan gengsi. Pemuda itu mempertaruhkan keselamatan di jalanan, di mana lemparan batu atau tebasan celurit dapat melenyapkan kesadaran secara permanen, alias tewas. Entah kepuasan macam apa yang dicari.
Berbekal informasi dari pencarian mesin pintar yang iseng-iseng Tami lakukan tempo hari, gadis itu jadi tahu alasan seseorang ikut tawuran salah satunya karena krisis identitas. Agak masuk akal mengingat pikiran remaja di usia ini sedang labil-labilnya. Namun, kendati demikian, ketololan yang tengah Kenan lakoni tetap saja membuat Tami cemas setengah mati.
Mari lupakan dulu perihal tawuran sebab malam ini perasaan Tami berbunga-bunga. Dia senang sekali karena duduk di sofa ruang keluarga tidak seorang diri. Kenan yang tumben-tumbenan sudi membersamainya duduk di depan televisi seraya menekuni drama Korea adalah peristiwa langka yang mengundang tanda tanya. Namun, buang semua keheranan yang ada, Tami terlanjur bahagia sehingga tak mau peduli pada badai jenis apa yang menggulung sifat apatis adiknya.
"Besok sekolah, Nan?" tanya Tami setelah sepuluh menit membiarkan suara dari layar kaca jadi satu-satunya yang berisik di ruangan. Itu persis sejak Kenan duduk di sampingnya.
Tanpa menoleh, pemuda dalam balutan celana training dan kaos hitam panjang itu mengangguk. "Kenapa?"
"Udah sembuh emang?"
Kenan menoleh. "Menurut lo?"
Karena lampu ruangan dimatikan dan hanya menyisakan cahaya dari televisi, Tami pun menyipit supaya bisa mengamati wajah Kenan dalam penerangan remang-remang. Secara keseluruhan, Tami pikir Kenan belum pulih. Memar di rahang kanan berikut luka gores yang mengering di pangkal hidung masih jelas kelihatan. Butuh sekitar dua atau tiga hari lagi untuk membuatnya benar-benar hilang.
"Belum balik ganteng, sih."
Kenan mengernyit. "Serius?"
"Serius, Nan. Mending rest dulu buat dua harian lagi." Tangan Tami bergerak hati-hati menyingkirkan rambut yang menutupi pelipis kiri Kenan, kala satu bekas luka dengan posisi vertikal agak miring terlihat, gadis itu lantas mengusapnya pelan.
Itu adalah bekas luka dari kecelakaan satu tahun silam. Sebuah pengingat bahwa Kenan pernah hampir meregang nyawa. Menyakitkan karena eksistensinya seolah mentertawakan Tami yang kala itu hidupnya menyedihkan sekali. Nyaris ditinggal pergi satu-satunya saudara, Tami kira jika itu sungguhan terjadi mungkin sekarang dia sudah resmi jadi gila.
"Apa?" tanya Kenan lirih.
"Jangan sakit lagi, Dek."
Kenan menatap Tami dengan sorot tak terbaca, tetapi satu sudut bibirnya yang naik tipis mengisyaratkan keramahan. "Lo jangan khawatir."
"Berhenti bikin khawatir makanya."
"Caranya?"
"Jangan tawuran."
"Siapa yang tawuran?"
"Yang kemarin pulang babak belur."
Kenan mendengkus kecil, lantas terkekeh serak. "Mana ada, Tam. Gue bonyok bukan karena tawuran."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!