Jangan jadi silent reader🙂
Happy reading, guys^^***
Berderet pesan yang Tami kirimkan semalam tak kunjung dapat balasan hingga pagi menjelang, Hazmi dengan tega hanya membacanya. Pada kalimat terakhir di ruang obrolan itu, Tami menulis kalimat dusta. Dia sejatinya sangat merindu. Namun, jika benar cuma satu kesempatan menelepon yang Hazmi berikan, maka ia ingin menggunakan momen tersebut di lain waktu. Nanti, ketika hati dan pikirannya tenang, kala ia kuat menahan tangis supaya kesedihannya tak sampai ke telinga Hazmi, saat ia sudah sanggup berdamai dengan kenyataan. Membutuhkan waktu tak sebentar sebab menerima serta membiasakan diri akan rasa sakit adalah fase terberat dari kehilangan.
Pagi ini, Tami menepi sejenak ke ruang kesehatan sebelum mengikuti ujian. Dia sempat mampir ke kantin, tadinya hendak membeli roti untuk ganjal perut, tetapi menemukan Emil dan Elena berada di satu meja yang sama membuat niatannya sirna. Ditambah ada Anna juga di sana, bercengkerama akrab dengan Elena. Dua gadis berkepribadian problematik disatukan, sungguh pemandangan tak mengenakan mata. Walau Ogy dan Geya membersamai mereka, Tami malas menghampiri sebab tahu suasana pasti bakal canggung semisal dirinya bergabung. Apalagi sekarang tensi hubungannya dengan Emil sedang memanas, akan jadi keputusan bijak jika Tami menghindar saja.
Di ruang kesehatan, Tami meringkuk di ranjang seorang diri. Andai hari ini tidak ada ujian, gadis itu mungkin akan absen sakit. Bukan fisik, melainkan hati. Perasaannya yang terluka dan berdarah-darah. Lihat saja mata bengkak serta ujung hidungnya yang memerah efek menangis semalaman, Tami benar-benar berantakan. Tami kewalahan. Takdir semesta begitu kejam merenggut kebersamaannya dengan orang-orang tersayang. Dia pernah kehilangan Hazmi sekali, harusnya kepergian kedua tak berdampak sesakit dulu, tetapi gelombang duka yang pemuda itu ciptakan ternyata berhasil menghantam Tami telak hingga membuat ketegarannya koyak kali ini.
Brak!
Dia yang terbaring di ranjang seraya memejam sontak berjengit dan refleks mendongak ketika suara bantingan pintu menghajar pendengarannya. Tami beringsut mendudukkan diri dan menengok ke sumber keributan, lantas mendapati Raja mematung di sana. Wajah pemuda itu tampak terkejut juga, tetapi kemudian ia tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuk. Raja mendekat pada Tami yang kini mengangkat sebelah alis terheran-heran sembari melayangkan tatap penuh tanda tanya ke arahnya.
"Sorry, gue kira gak ada orang." Raja duduk di tepian ranjang yang Tami tempati. "Tumben gak ngantin, Tam?"
"Gak laper."
Raja mengangguk samar. Ia terdiam sejenak mengamati wajah Tami, kernyitan lantas timbul di dahinya yang mulus, tak berselang lama pemuda itu melontarkan tanya dengan nada cemas, "Mata lo kenapa?"
Tami spontan menyentuh indra penglihatannya, lalu mendesah panjang. "Kelihatan bengkak, ya?"
"Banget, kayak abis nangis semalaman." Raja memiringkan kepala demi melihat lebih dekat keganjilan di wajah cantik Tami yang pagi tampak kusut. "Lo nangis gara-gara Emil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!