So guys, aku seneng banget kalian ringan jari untuk meninggalkan komentar di chapter kemarin// kecup sayang satu-satu// Di chap ini aku gak akan nargetin komen. Ayo kalian komen yang banyak biar aku semangat nulisnya😗//Ngelunjak!//
Emil jadi anak baik di chap ini, jadi jangan sungkan untuk menghujatnya. Sekian. Happy reading^^
***
Tami kecewa.
Emil mengecewakannya.
Gadis itu terjaga semalaman, tetapi kesadarannya seakan-akan kenyang oleh mimpi buruk. Selepas mendengar pengakuan Emil yang mengklaim Elena sebagai pacar, Tami langsung meminta Kenan dan Hazmi mengurusi Emil. Ia mendadak muak melihat kekasihnya. Akan tetapi meski retakan timbul di hati, Tami nihil dari mengurai air mata. Ia tidak sudi menangisi sesuatu yang belum jelas. Jika pun itu sebuah kebenaran, maka kesedihannya akan menjelma pukulan dan makian, bukan tangisan. Rugi sekali bersedih karena bajingan.
Pagi ini, Tami berangkat sekolah naik bus. Kenan masih absen, Emil entah bagaimana kabarnya sebab ketika gadis itu turun dari kamar untuk sarapan, Hazmi memberitahu jika Emil sudah pulang Subuh tadi. Tami sejatinya ogah menerka-nerka apa yang terjadi di rumah sakit, antara Emil dan Elena, sampai-sampai membuat pemuda itu kalut dan memilih minuman keras sebagai pelampiasan. Namun, terkutuklah otak Tami yang malah berkhianat; dengan sengaja mendengungkan pertanyaan negatif berulang kali. Dia terlalu mandiri dalam melukai diri, berimbas pada berantakannya suasana hati.
Tami berencana menghindari Emil seharian ini. Dia butuh jeda untuk menjernihkan isi kepala dari prasangka buruk. Butuh waktu meredakan amarah. Nanti, ketika sakit hatinya agak mendingan, akan Tami ajak kekasihnya bicara serius.
Bus berhenti di halte dekat sekolah, Tami turun dengan langkah yang seakan-akan tak menapak pada tanah. Akibat tak tidur nyaris semalaman, dia jadi pening. Ternyata kesedihan tak sanggup membuat kantuk pergi pagi ini. Semua gara-gara Emilio Joana si bedebah jancuk brengsek! Awas saja, akan Tami diamkan sang kekasih hingga pemuda itu frustrasi sendiri!
Usai berjalan hampir lima menit, kaki jenjang Tami akhirnya menjejak ambang gerbang. Baru tiga langkah memasuki area sekolah, tiba-tiba motor yang bentukannya familier melintas di samping gadis itu. Langkah Tami sempat terhenti sepersekian detik kala ia melihat kendaraan Emil melaju mendahuluinya, tanpa sapa sang kekasih lewat begitu saja. Bagian termirisnya adalah, Emil membonceng seseorang; Elena duduk manis di jok belakang dengan dua tangan melingkar erat di pinggang Emil.
Tami terkekeh sumbang, antara tidak percaya dan merasakan sesak yang keterlaluan. Wah, ngajak ribut beneran.
Di awal pertemuan, Elena gelagatnya tak mencurigakan. Tami mendapat kesan pertama yang ramah dan menyenangkan. Akan tetapi makin sini, gadis itu makin ambigu kelakuannya. Tami jadi yakin jika dugaan Raja perihal Elena masih menaruh rasa pada Emil memanglah sebuah fakta. Jika sekadar mencinta, Tami tak apa. Masalahnya Elena bertingkah seolah ingin memiliki pemuda itu hanya untuk dirinya saja, padahal tahu Emil sudah mempunyai kekasih. Tami tak akan tinggal diam, lihat dan tunggu pembalasannya.
Tami sampai di persimpangan koridor kelas sepuluh, lantas berbelok menuju tangga yang akan mengantarkannya ke kelas XII IPA 1. Namun, langkahnya terjeda karena Emil berada di sana, di undakan pertama dan sepertinya sengaja menunggu kehadiran Tami. Gadis itu mendekat dengan ekspresi datar, selain malas memerangkap rupa Emil ke dalam mata, dia juga sebal mendapati eksistensi Elena di sisi Emil.
Ini cewek ngintilin Emil mulu perasaan.
"Tami," panggil Emil.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!