7. Lo Juga, Nan

2.5K 415 34
                                    

Sorry, Nan. Really sorry.

Sebaris kalimat itu terus berlarian di benak Tami. Dia merasa amat menyesal telah gagal menjaga Kenan dan memastikannya baik-baik saja. Tidak becus, kurang peka, dan banyak lagi kekurangan yang Tami absen untuk dirinya sendiri. Sebagai sulung yang bertanggung jawab melindungi, Tami harus bersimpuh di makam kedua orang tuanya, meminta maaf atas segala keliru yang dia lakukan dalam menemani Kenan bertumbuh.

Setelah pintu kamar Kenan berhasil dibuka, Tami tidak tahu lagi bagaimana caranya berdiri seimbang. Lututnya mendadak kehilangan daya, membuat tubuh gadis itu jatuh bersimpuh di ambang pintu. Jika ada hari paling menyakitkan selain ditinggal kedua orang tua, maka Tami akan menulis malam ini di urutan kedua. Mendapati Kenan meringkuk di lantai sambil menangis tanpa suara sungguh menyayat hatinya. Apalagi kala sang adik menepis tangannya yang hendak menggapai badan kesakitan itu, lalu Kenan berteriak enggan diobati, kekecewaan langsung menghantam Tami tanpa ampun.

Kini, Tami terduduk di sofa dengan tatapan kosong. Dia memilih lenyap sejenak dari pandangan Kenan sekaligus membiarkan Ogy saja yang mengurus luka-luka di badan adiknya. Nyeri yang Tami rasa tentu tak main-main ketika Kenan lebih sudi diobati orang yang notabene asing ketimbang dirinya yang merupakan saudara. Namun, di situasi pelik ini, gadis itu sadar harus menekan ego. Mengasari Kenan hanya akan membuatnya makin hancur.

Fokus Tami sesekali terarah pada ponsel yang menyala di meja. Emil sudah berkali-kali menelepon di sana, tetapi gadis itu mengabaikannya. Dia kalut. Mendengar suara Emil adalah hal yang wajib dihindari pada keadaan ini. Sebab jika Tami memaksakan diri menerima panggilan tersebut, besar kemungkinan akan dia paksa sang kekasih untuk berlari ke sini demi bisa memeluknya. Namun, Tami tahan karena Emil sedang bersama Elena. Rusak Tami di momen ini, cukup diri sendiri saja yang menyaksikannya.

Tambah Ogy, mungkin?

"Tam."

Gadis di sofa, yang terduduk dengan punggung menyandar itu kontan menegakkan pundak. Kekosongan di mata Tami seketika dipenuhi cemas kala sosok Ogy mengambil posisi duduk di sampingnya. "Gimana, Gy?"

Ogy pamer senyum tipis, seolah memberi isyarat bahwa yang terjadi tidak seburuk kelihatannya. "Kenan gak baik-baik aja, lo sendiri pun bisa lihat itu. Tapi jangan terlalu khawatir, anak cowok biasa kok baku hantam. Dia juga gak marah sama lo, dia kecewa sama dirinya sendiri. Kebetulan tadi lo ada di sana, otomatis lo jadi sasaran kemarahannya. Gapapa, besok pasti dia minta maaf. Anaknya juga bilang nyesel banget udah bentak-bentak lo. Dimaafin, 'kan?"

Tami melengos, tak mau menunjukkan nelangsa di matanya. Perihal memaafkan Kenan, Tami bahkan sudah melakukannya tanpa perlu diminta. Untuk sang adik, gadis itu menyediakan banyak pemakluman.

"Thanks, ya, Gy." Meski ini bukan pertama kalinya Tami merepotkan Ogy, tetapi sungguh, untuk yang satu ini dia merasa amat berterima kasih.

Ogy terkekeh. "Lo kayak sama siapa aja, Tam. Santai, gue mah cukup ditraktir mie ayam Bu Endah besok."

Helaan napas Tami terdengar nyaring di ruangan yang didominasi keheningan. "Gak etis banget, Gy, minta traktiran sama orang miskin. Duit bokap lo yang melimpah nanti gak berkah. Mending lo jajanin gue."

"Mana ada," sanggah Ogy. "Gue juga miskin. Yang tajir tuh bokap, jadi gak bisa jajanin orang kecuali Geya."

Tami tidak bisa menahan diri dari merotasi bola mata. "Dasar bucin!"

Ogy tertawa lagi. "Emang!"

Tami menghela napas, senyum yang sempat terbit di bibir tipisnya luntur dengan cepat. Rasanya sangat tidak nyaman tertawa di kala isi kepala semrawut. "Ya udah sana pulang."

[✓] T O X I CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang