Setelah kehilangan, katanya kita akan mengalami lima fase ini; menyangkal, marah, menawar, depresi, dan menerima. Tami butuh waktu dua hari meyakinkan diri bahwa Hazmi sudah benar-benar pergi. Ia kerap terbangun di tengah malam hanya untuk menelepon nomor pemuda itu dan kemudian terisak hebat sebab panggilannya tak diangkat. Di hari berikutnya, kemarahan menguasai batin Tami yang mulai menyadari Hazmi tak akan bisa lagi ia temui. Lantas sekarang, Tami menjajaki tahapan menawar pada keadaan. Ia berandai-andai atas banyak hal yang tak sempat dilakukan ketika raga Hazmi masih bisa didekap erat-erat.
Malam itu, harusnya gue gak iyain waktu lo minta putusin sambungan.
Malam itu, harusnya kita ngobrol lebih banyak hal. Berbagi tawa lebih lama.
Malam itu, harusnya gue gak nyuruh lo tidur nyenyak, Az. Harusnya gue bilang, "Besok jangan lupa bangun, Az!"
Malam itu, harusnya ....
Tami masih punya banyak angan tentang malam itu. Bertumpuk-tumpuk pengandaian yang mustahil terwujud. Ia menyesalkan banyak hal, tetapi ketidakmampuannya mengulang waktu membuat Tami jadi frustrasi. Hari-hari Tami berjalan suram, wajahnya selalu muram. Di depan Kenan sekalipun kini ia lebih banyak diam. Beruntung Emil selalu di samping gadis itu, menyemangati dan menghiburnya dengan berbagai aksi.
"Mau pulang aja, Tam?" tanya Emil. Pemuda itu merebahkan kepala di meja dengan pipi kanan menempel pada permukaan kayu halus tersebut. Sebelah tangan Emil sibuk mengelus kepala Tami yang berada di sampingnya. Posisi duduk keduanya serupa, jadi mereka leluasa memandang wajah satu sama lain.
Tami yang semula memejam lantas membuka mata, dan wajah tampan Emil beserta senyum lembutnya adalah pemandangan pertama yang terkunci penglihatan perempuan itu.
"Mau nonton lo tanding," balas Tami.
Jadi, satu Minggu pertama di semester genap ini, SMA Gemilang mengadakan class meeting. Sekarang sudah masuk hari ke tiga di mana tim basket antar kelas mulai bertanding. Sore ini kelas Emil dijadwalkan bertemu kelasnya Geya, menempatkan gadis itu pada posisi dilema; bingung antara mendukung kawan kelasnya atau Ogy selaku kekasihnya. Namun, dilihat dari Geya yang hobi menistakan Ogy, dukungannya tampak bakal condong ke kawan-kawan kelasnya. Selain menghargai mereka yang lebih lama Geya kenal, mengisengi Ogy dan membuat pemuda itu merajuk juga pasti akan menyenangkan. Dijamin mendatangkan kepuasan tersendiri.
Ketika Ogy dan Geya sudah stand by di gedung olahraga dan tengah menonton pertandingan kelas lain, Tami dan Emil malah leha-leha di kelas. Dalam ruangan yang didominasi hening tersebut, selain ada dua yang telah disebutkan, Raja juga berada di sana, duduk di bangku paling belakang sembari menenggelamkan wajah pada lipatan tangan lengkap dengan telinga tersumpal airpods. Pemuda itu sedang tidak enak badan, jadi ia memilih istirahat sebentar sebelum mengikuti pertandingan, tak apa meskipun harus jadi obat nyamuk orang yang sedang pacaran. Lagi pula Raja sudah terbiasa menjadi orang ketiga di sekitar Emil dan Tami ketika mereka berduaan.
"Laper gak?" tanya Emil lagi.
Tami menggeleng. "Ngantuk."
"Tidur." Tangan Emil bergerak agak ke bawah, bermain-main dengan mencubit-cubit pipi sang kekasih.
"Emil," panggil Tami pelan. Direspons gumaman oleh pemuda di depannya. "Keluarga lo kan punya usaha kuliner, gue boleh kerja part time di sana gak?"
Belakangan ini gadis itu terus kepikiran soal biaya pengobatan Kenan yang jumlahnya tak sedikit di tiap pertemuan. Walau Onty Maudy sudah mengatakan akan mengurusnya, tetap saja Tami tak enak hati. Sekarang sang bibi telah berkeluarga, ada banyak kepentingan yang memerlukan uang dalam sebuah rumah tangga, jadi Tami enggan merepotkan beliau. Jika tabungan orang tua Tami terpakai sejatinya tak apa, jatah untuk biaya sekolah di masa depan bisa kembali Tami usahakan. Makanya bekerja paruh waktu mulai ia pikirkan. Apa saja, asal menghasilkan pundi-pundi rupiah. Lalu dia teringat keluarga Emil punya usaha, jadi kenapa tidak mencoba mendapatkan uang di sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!