21. Jangan Lupa, Sayang

2.5K 363 94
                                    

Jangan jadi silent reader🙂
Happy reading^^

***

Dilempari tatapan datar oleh Kenan adalah hal lumrah bagi Tami, menghadapi sikap cuek serta apatisnya juga sudah jadi makanan sehari-hari. Namun, siang ini, ketika Tami memasuki ruang rawat inap sang adik dan langsung disambut pandangan tak bersahabat, jantung Tami sukses dibuat mencelos hebat. Sesaat, ia mampu berbaik sangka; mengira adiknya kelelahan dan sedang malas beramah tamah. Sambil menekan prasangka buruk, Tami menyongsong raga Kenan yang terbaring di ranjang.

Tangan Tami terulur hendak mengusap lengan Kenan, kalimat untuk menanyakan kondisi juga sudah sampai di tenggorokannya, tetapi niat baik gadis itu justru mendapatkan penolakan. Sang adik dengan kasar menepis tangannya. Sejurus kemudian kata-kata keji bernada tajam mengudara begitu mudah dari bibir Kenan, "Lo bisa pergi aja gak, Tam? Gue beneran muak lihat muka lo."

"Sayang," tegur Onty Maudy dari balik punggung Tami. Beliau duduk pada sofa panjang yang terletak di dekat pintu dan kini tengah mengupas apel. Namun, mendengar keponakan lelakinya bicara tak etis, konsentrasi wanita dewasa itu kontan terusik. "Kenan, anak baik ... jangan gitu, ya."

"Kenan bercanda, Onty." Tami tertawa canggung, masih berusaha menganggap ucapan adiknya cuma guyonan semata. "Gue gak akan keluar dari sini biar lo makin muak. Wle!"

Tami berusaha tampil ceria, mati-matian memandang Kenan dengan sorot nihil iba. Ia telah mengukir ini di dinding ingatannya, perihal Kenan yang anti dikasihani. Jadi bagaimanapun keadaan pemuda itu, Tami harus berpura-pura segalanya baik-baik saja. Menyiksa, tetapi dibanding cuma bersandiwara, Kenan yang didera sakit pasti merasa lebih tertekan jika Tami gamblang menunjukkan perasaan cemasnya.

Menyaksikan Tami tertawa, Kenan masih mempertahankan ekspresi datarnya. "Lo pikir ini lucu, Tam?"

"Yeuu! Adik gue kenapa sensi amat?" Tami maju selangkah, tetapi kakinya mendadak kaku ketika sebuah bantal mendarat kuat di wajahnya. Gadis itu terdiam, menatap Kenan tak paham. Namun, dari kerasnya hantaman benda empuk yang Kenan lemparkan, Tami seketika menyadari; sang adik sedang tidak ingin bercanda sekarang.

"Lo pikir lo ngapain barusan, hah?" Intonasi suara Kenan merosot tajam, selaras dengan caranya melayangkan tatapan. "Pergi sana! Keluar, Anjing!"

Tami berjengit kaget hingga tanpa sadar mundur beberapa langkah. Di belakang, Onty Maudy langsung berdiri. Beliau mendekat pada Kenan yang barusan berteriak marah setelah sempat menyuruh Tami menunggu di luar saja. Melihat Kenan tampak sangat benci padanya, Tami pun terpaksa meninggalkan ruangan. Perasaan gadis itu terluka, tetapi siapa yang bisa dia salahkan? Keadaan Kenan sedang berantakan, alih-alih kecewa, bukankah ia harusnya memberikan pemakluman? Di posisi ini, bukankah Tami dituntut untuk memahami?

Tami menutup pintu perlahan sambil mendengarkan suara sayup-sayup Onty Maudy menenangkan Kenan. Di luar, ia menyandarkan punggung pada dinding. Wajahnya tertutup telapak tangan. Ia ingin menangis, tetapi keramaian bukanlah tempat tepat melepas kesedihan. Jadi seraya menahan perih di tenggorokan seolah-olah sebilah silet baru saja menggores lehernya, Tami berjalan tergesa menuju toilet. Namun, di tengah perjalanan ia malah bertemu Emil dan kawan-kawannya yang lain.

"Gue mau ke toilet," kata Tami seraya menatap ujung sepatu Emil. Dia enggan melihat wajah sang kekasih, enggan menunjukkan mata yang digenangi air, yang cuma memerlukan satu kedipan untuk membuatnya luruh ke pipi. "Minggir, Mil, gue mau ke WC!"

[✓] T O X I CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang