Langit tampak agak mendung pagi ini, tetapi hangat mentari masih sanggup menembus awan yang bergulung-gulung di angkasa. Di atas bean bag, Tami terduduk seraya menatap kosong gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh di seberang sekolahnya. Embusan angin menerpa tubuh gadis itu, menerbangkan ujung rambutnya yang tergerai menawan.
Alih-alih berbaur dengan mayoritas warga sekolah yang tengah menonton pentas seni di Aula, Tami justru memilih menyepi di atas sini. Gadis itu menghindari keramaian yang bikin kepalanya sakit. Sebab sejak menginjakkan kaki di kelas, telinga Tami langsung dijejali pertanyaan serupa oleh banyak orang; beneran putus sama Emil, Tam? Kok, bisa?
Berisik.
Tami muak sekali.
Berakhirnya hubungan Tami dan Emil menyebar cepat ke penjuru sekolah, memicu beragam komentar dari orang-orang. Ada yang menyayangkan mereka berpisah, tetapi tak sedikit yang mensyukurinya. Tami sempat mendengar desas-desus dari mereka yang sok tahu berasumsi bahwa jalinan kasih antara dirinya dengan Emil kandas disebabkan orang ketiga, kemudian nama Elena dibawa-bawa. Tak salah-salah amat, tetapi kurang akurat. Alasan sesungguhnya adalah, terjadi kesalahpahaman sejak lama, terus berakumulasi, dan semalam segalanya menemui batas toleransi.
Baik Emil maupun Tami, keduanya telah menyadari; hubungan yang mereka jalani sangatlah tidak sehat. Dipenuhi racun. Melukai perlahan, menimbulkan banyak goresan. Tidak ada cara lebih baik untuk mengatasi semua kekacauan selain saling melepaskan. Masing-masing dari mereka harus membawa langkah ke arah berlainan di persimpangan takdir. Meniti jalan berbeda, menuju tujuan baru untuk kembali mendapatkan bahagia. Tidak ada lagi yang namanya sama-sama, tentang Emil dan Tami serta segenggam cinta yang mereka punya kini telah sampai di penghujung cerita. Berakhir duka.
"Ngelamun, oi!"
Tami sedikit berjengit ketika suara Ogy terdengar dari balik bahunya. Ia menengok, lantas menemukan Ogy berjalan mendekat dengan langkah terpincang-pincang. Tami tak mampu menyembunyikan keheranan begitu pemuda itu mendudukkan diri pada bean bag di hadapannya. Saat diamati lebih dekat, ternyata yang cedera tak hanya kaki, melainkan wajahnya juga.
"Abis berantem sama siapa, Gy?"
Ogy cengengesan sambil mengusap tengkuk. "Baku hantam sama si Emil brengsek jancuk sialan Joana! Buat bikin dia sudi dengerin penjelasan gue, kami harus bentrok fisik dulu sampe bonyok gini, Tam. Demi balikin nama baik lo dan gue, demi Geya juga, gue beneran kayak orang gila semalem."
Tami senyum tipis, mengapresiasi usaha Ogy. "Lo sama Geya gapapa?"
"Aman," balas Ogy antusias, tetapi sejurus kemudian raut wajahnya berubah menyesal. "Lo sama Emil ...."
Untuk beberapa kata yang menggantung di ujung lidah Ogy dan tak mampu pemuda itu lisankan, Tami memahaminya. Jadi ia pun mengangguk membenarkan, membuat Ogy mendesah panjang dengan ekspresi sangat menyayangkan.
"Padahal semalam dia bilang dia percaya sama penjelasan gue, gue kira abis itu Emil langsung nyamperin lo."
Tami mengalihkan pandang, anak rambut yang jatuh ke pipinya bergoyang pelan diterpa angin yang berembus cukup kencang. Hampa, Tami menatap tanpa binar sederet awan tipis-tipis yang berarak di atas kepalanya. "Gue sama dia udah bener-bener berakhir, Gy. Gak ada kesempatan balik kayak dulu lagi. Jangankan sedekat sebelumnya, bahkan untuk berteman pun mungkin bakal sulit. Di bayangan gue, kami cuma akan jadi dua orang yang bersikap seolah gak pernah saling kenal. Gue terlalu kecewa sama sikapnya tadi malam, dan dia juga kelihatan kehabisan kesabaran menghadapi gue yang kurang peka dalam menyadari kesalahan sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!