Guys, ayo ramaikan kolom komentar. Jangan sungkan kasih kritik dan saran❣️❣️❣️
***
Walau sore ini awan yang menggelayut di langit tampak abu pekat, tetapi Tami dan kawan-kawan tetap nongkrong di rooftop. Sejak awal kelas sebelas, atap gedung olahraga beserta ruangan-ruangan khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler memang jadi spot favorit Emil dan tiga lainnya menghabiskan waktu sebelum pulang. Menutup hari yang melelahkan dengan menikmati hangat sinar mentari yang hendak tenggelam ke peraduannya. Di sana ada empat bean bag untuk masing-masing Emil, Tami, Ogy dan Raja. Khusus kepunyaan mereka sebab tidak ada yang berani memakainya selain keempat orang itu.
Demi bisa menguasai satu-satunya gedung beratap datar tersebut, Emil dan dua kawannya sampai bentrok fisik dengan alumni lulusan tahun ini. Adu gengsi dan harga diri. Sebagai salah satu sekolah elite di Jakarta Pusat, circle pertemanan Emil tentu bukanlah satu-satunya yang diisi anak-anak berlatar keluarga tajir. Mayoritas siswa di sana datang dari kalangan orang berada, jadi jika ingin melebarkan kuasa, Emil tidak bisa menggunakan kartu As yang melibatkan kekayaan orang tuanya.
"Yang lain udah naik?" tanya Raja.
"Udah," balas Tami.
Keduanya berjalan bersisian meniti anak tangga dengan masing-masing tangan menjinjing kantung plastik. Tami dan Raja kebagian tugas mengambil pesanan delivery sementara yang lain pergi lebih dulu. Tami menenteng dua bungkusan berisi box pizza, sedangkan Raja dapat bagian membawa minumannya.
Kala mereka sampai di undakan tangga pertama menuju lantai tiga, Tami yang jarang olahraga sudah terengah-engah saja napasnya. Raja mendengkus geli melihat itu, tetapi kemudian ia mengulurkan tangannya yang bebas beban dan berkata, "Siniin coba, Tam, biar gue aja yang bawa."
"No!" Tami mendelik sinis. "Gue masih kuat, kok. Cuma sesek napas dikit."
Raja mengedikkan bahu, lantas membawa tangannya kembali ke sisi tubuh. Tanpa sepengetahuan Tami, pemuda itu mengulas senyum tipis dan menggeleng pelan, diam-diam suka sekali dengan sifat keras kepalanya Tami. "Gue sebenernya kurang srek Elena ikut nongkrong sama kita."
Tami kontan menoleh. "Why?"
Raja mengembuskan napas, tatapannya terarah ke bawah, memandang tak minat tiap pijakan yang ditapaki kakinya. "Canggung, Tam. Gue kenal baik sama Elena, sama lo juga. Bakal jelek banget hawanya kalau lo, Elena, Emil disatuin dalam satu tempat. Sorry, nih, bukan nakut-nakutin ... tapi Elena kayaknya masih suka Emil. Cara dia natap Emil gak berubah, lo juga sadar itu, 'kan?"
Tami mendesah panjang, apa yang belakangan bikin dia kepikiran baru saja Raja perjelas lewat kata-kata. Perasaan waspada seolah posisinya sedang diancam seseorang ternyata bukan firasat Tami semata, sebab Raja pun bisa menyadari situasi pelik ini. Tami mungkin bisa berlagak biasa dan menganggap wajar keberadaan Elena serta interaksinya dengan Emil yang kelewat akrab, tetapi lama-lama kepura-puraan itu pasti berdampak buruk. Hubungan Tami dengan Emil sedikit banyak akan terpengaruhi. Terlebih Tami bukan tipe perempuan yang jago menahan cemburu, gampang curiga pula, alamat bakal gonjang-ganjing hubungan mereka.
"Terus gimana, Ja?" Tami bertanya cuma sekadar basa-basi karena sadar betul sejatinya tidak ada solusi absolut untuk masalah ini. Dari cara Emil memperlakukan Elena, Tami bisa menyimpulkan bahwa mustahil meminta Emil menjauhi gadis itu. Lagipula siapa Tami lancang memisahkan dua orang yang sudah menjalin pertemanan jauh sebelum dirinya memasuki hidup Emil?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] T O X I C
Teen Fiction"Dari satu sampai sepuluh, coba rate perasaan lo buat gue." "Perasaan gue buat lo itu analoginya kayak kedalaman samudra. Rate-nya berarti dasar lautan; deepest part of the ocean. Berapa jumlah angkanya? Countless." Don't copy my story!